Pelanggaran HAM Terhadap Buruh dengan Adanya Sistem Outsourching
(artikel ini dari tugas akhir mata kuliah pengantar studi HAM, ditulis oleh Muh. Andi Nasrullah)
Mahasiswa jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM angkatan 2009
Mahasiswa jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM angkatan 2009
HAK ASASI BAGI BURUH
Hak asasi manusia merupakan hak dasar manusia sejak lahir dan semua manusia berhak mendapatkannya termasuk para buruh, dalam konteks ini adalah buruh yang bekerja di sektor industri atau pabrik. Sebagai salah satu kelompok yang menggerakkan sektor perekonomian, sudah selayaknya keberadaan buruh diperhatikan. Dalam sejarahnya buruh selalu berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, bahkan kerap mengalami pelanggaran HAM seperti yang terjadi pada Marsinah, seorang buruh pabrik yang berada di Sidoarjo yang dibunuh pada tahun 1993.
Saat ini berkembang pula fenomena dalam dunia perburuhan yaitu sistem outsourcing atau buruh kontrak yang banyak diprotes oleh banyak pihak. Sistem ini memperbolehkan perusahaan untuk mengambil tenaga kerja melalui pihak ketiga atau perantara.
Secara hukum, Negara Indonesia sudah melindungi buruh dengan undang-undang yang ada, diantaranya meratifikasi konvensi dari International Labour Organization (ILO) dan dibuatnya UU Ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003 tetapi begitu dalam praktiknya juga harus dilihat apakah hukum Indonesia (UU Ketenagakerjaan) telah melindungi hak asasi manusia, yang sudah selayaknya diterima oleh buruh, terutama pada buruh yang bekerja pada sistem outsourcing?
Konvensi ILO
Dalam era globalisasi, isu ketenagakerjaan Indonesia tidak lepas dari dunia Internasional, meningkatnya isu penegakan HAM terutama pada bidang ketenagakerjaan menjadi isu yang penting dalam pergaulan internasional. Konvensi ILO adalah Perjanjian Internasional yang mengatur mengenai ketenagakerjaan tersebut.
Konvensi ILO merupakan traktat internasional yang perlu di ratifikasi oleh seluruh negara anggota ILO. Indonesia telah menjadi anggota ILO sejak 1950 dan merupakan negara Asia pertama dan negara kelima di dunia yang telah meratifikasi seluruh konvensi utama ILO. Dengan meratifikasi Konvensi No. 185 pada tahun 2008, maka Indonesia secara keseluruhan telah meratifikasi 18 Konvensi ILO. Penghargaan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja, dikenal dengan Delapan Konvensi Dasar International Labour Organization. Di dalam Konvensi itu terdapat empat aspek, yaitu :
- kebebasan berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 dan nomor 98)
- bebas dari diskriminasi (Konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111)
- pelarangan kerja paksa (Konvensi ILO Nomor 29 dan nomor 105); dan
- perlindungan anak (Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182)
UU KETENAGAKERJAAN TAHUN 2003
Pembuatan undang-undang ketenagakerjaan tahun 2003 merupakan konsekuensi yuridis dari diratifikasinya Konvensi ILO oleh pemerintah Indonesia. UU ini mengimplementasikan Konvensi ILO pada hukum nasional Indonesia.
Pasal yang kontroversial dari UU ketenagakerjaan 2003 ini terdapat pada pasal 64 yang juga sebagai dasar dari pelegalan sistem outsourcing :
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagaian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”
REALITAS DI LAPANGAN
Pasal yang menjadi sorotan dalam pembahasan ini terdapat pada pasal 64, pasal yang melegalkan perekrutan pekerja dengan sistem outsourcing. Sebelum itu ada baiknya memahami definisi dari sistem outsourcing.
Sistem outsourcing atau buruh kontrak adalah pengalihan sebagian atau seluruh pekerjaan dan atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi pemakaian jasa outsourcing bagi pribadi, perusahaan divisi maupun suatu unit dalam sebuah perusahaan. Outsourcing diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses. Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak.
Pemahaman mudahnya, para buruh tidak bekerja secara langsung kepada perusahaan, tetapi melalui perantara sebuah penyediaan jasa. Bagi perusahaan sendiri para buruh yang di rekrut melalui sistem outsourcing yang biasa disebut buruh kontrak, hanya dianggap sebagai tenaga tambahan. Jadi bagi perusahaan, buruh kontrak adalah tenaga luar yang tidak mempunyai ikatan pekerjaan yang tetap pada perusahaan. Ikatan pekerjaan yang ada akan putus bila masa kontrak sudah habis, atau ada pelanggaran di dalam isi kontrak. Tanggung jawab perusahaan terhadap buruh tetap dibandingkan dengan buruh kontrak ternyata berbeda. Sama halnya dengan dosen tetap dan dosen tidak tetap, pemberlakuan diantara mereka pasti berbeda. Para buruh kontrak mendapat perlakuan berbeda dari kawan mereka yang bekerja sebagai buruh tetap, terutama dalam pemberian besar-kecil upah.
Sejak UU ketenagakerjaan tahun 2003 diberlakukan, sistem outsourcing digunakan oleh mayoritas pabrik atau perusahaan dan mayoritas pekerja adalah buruh kontrak. Jelas bahwa perusahaan-perusahaan menggunakan para buruh kontrak bukan sebagai tenaga tambahan melainkan sebagai usaha untuk mendapatkan biaya tenaga kerja yang murah..
Untuk membuktikan hal ini, saya telah mewawancarai langsung para buruh kontrak pada tanggal 6 Juni 2010 sekitar jam 7 malam. Buruh kontrak yang diwawancarai bekerja di pabrik-pabrik yang berada di daerah Bambe, Gresik Jawa Timur.
Buruh pabrik yang saya wawancarai pertama kali adalah bapak Samidi, beliau pernah bekerja pada dua perusahaan yang berbeda, yang pertama adalah perusahaan TP yang bergerak di bidang pembuatan meubel selama 6 tahun, ketika bapak Samidi bekerja disini belum diterapkan adanya sistem outsourcing. Baru pada perusahaan yang kedua yaitu CA, yang juga bergerak dalam bidang meubel, beliau mendapat pengalaman bekerja sebagai buruh kontrak selama 4 tahun
Dari penuturan bapak Samidi terdapat perbedaan yang jelas antara buruh tetap dengan buruh kontrak, buruh kontrak mendapatkan perpanjangan kontrak setiap 6 bulan sekali dengan upah hanya standar UMR yang dia terima, buruh kontrak tidak mendapatkan tunjangan seperti yang diatur dalam undang-undang, tidak mendapatkan pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja, dan tidak adanya serikat buruh yang melindungi kepentingan mereka, sehingga para buruh tidak berani untuk menuntut aspirasi dan menuntut kenaikan pendapatan, karena jika berani menuntut akan diberhentikan. Hal ini berbeda ketika bapak Samidi bekerja sebagai buruh tetap di TP, terdapat serikat buruh SPSI yang jika ada masalah, para buruh juga bisa dilibatkan dalam negoisasi dengan para pengusaha. Bapak Samidi juga menjelaskan bahwa di perusahaan CA, keberadaan buruh tetap, bisa dihitung dengan jari, yang mayoritas adalah buruh kontrak.
Wawancara yang kedua kepada Sulis, seorang buruh harian lepas di Pabrik W yang memproduksi alat-alat rumah tangga yang terbuat dari plastik yang dibayar harian sebesar 29 ribu (dibawah UMR). Jadi yang dimaksud dengan buruh harian lepas, sewaktu-waktu dia bisa keluar dari perusahaan atas kehendaknya sendiri, tidak ada kontrak untuk bekerja selama 6 bulan. Dari penuturan Sulis, diketahui mayoritas yang bekerja di Pabrik plastik W adalah buruh harian lepas dan wanita seperti dirinya. Bagi seorang buruh harian lepas, tidak ada pemberian cuti haid ataupun melahirkan yang wajib diberikan oleh perusahaan terhadap buruh wanita. Pemberian cuti hanya diberikan kepada buruh tetap yang jumlahnya sedikit di pabrik itu.
Dalam pemberian upah terlihat ada ketimpangan antara upah yang mereka terima dibandingkan biaya kebutuhan hidup para buruh. Bapak Samidi yang mendapatkan upah UMR sekitar 1juta setiap bulan harus menghidupi dirinya, istri, serta ketiga anaknya. Jadi setiap bulan masing-masing dari mereka mendapatkan uang sekitar 200 ribu untuk biaya hidup. Sementara Sulis yang hanya mendapatkan upah perhari 29 ribu, dalam sebulan dia mendapat 181 ribu. Dengan pendapatan yang kecil tentunya tidak bisa menjamin kesejahteraan mereka, karena upah yang mereka terima digunakan untuk makan, bayar kos, dan yang lainnya.
KESIMPULAN
UU ketenagakerjaan tahun 2003 telah menjamin hak-hak yang selayaknya diterima oleh buruh, tetapi dengan adanya pasal 64 di dalam UU ketenagakerjaan itu melegalkan perekrutan buruh dengan sistem outsourcing, perusahaan memanfaatkan sistem ini untuk mendapatkan biaya tanaga kerja/buruh yang murah.
Sistem outsourcing sangat merugikan para buruh kontrak dan melanggar hak asasi mereka, pelanggaran ini diantaranya, terdapat diskriminasi atau perlakuan yang berbeda antara buruh tetap dengan buruh kontrak buruh tetap mendapatkan tunjangan, pesangon dan cuti, sementara buruh kontrak tidak bisa mendapatkannya. buruh kontrak tidak bisa mengikuti serikat pekerja, karena status mereka yang hanya pekerja tambahan dari luar. para buruh terpaksa bekerja dengan status buruh kontrak walau dengan upah yang sedikit, karena daya tawar mereka yang lemah tanpa adanya serikat pekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar