SELAMAT DATANG

Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPTSK-SPSI) Unit Kerja PT TCK Textiles Indonesia yang tercatat pada Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang dengan nomor pencatatan 190/DISNAKER/SP/KAB-TNG/III/2009 tertanggal 30 Maret 2009 dan struktur kepengurusannya disahkan oleh DPC FSPTSK - KSPSI Kabupaten Tangerang. Bermula dari keinginan untuk membangun kerjasama antar serikat pekerja yang lebih baik dan luas, kami merasa perlu untuk membuat portal komunikasi dengan aktivis buruh di seluruh Indonesia.
Meskipun pada tahap awal ini, kami menggunakan jasa free blogging, tahap selanjutnya diharapkan tumbuh kepedulian yang lebih baik sehingga tercipta kerjasama positif.
Kami mengajak seluruh aktivis buruh untuk saling merapatkan barisan terkait beberapa isu yang sedang berkembang seperti Union busting dan PHK.
Akhirnya.......................
Mari kita buka batasan batasan yang membelenggu kita, kita satukan langkah karena tantangan semakin berat.
SALAM PEKERJA......................
Ttd
PUK FSPTSK - KSPSI PT TCK Textiles Indonesia
Sekretariat ; Jl Raya Serang KM 12 Desa Sukadamai Cikupa Tangerang telp. 021 (5960817) ext 234

Senin, 23 Agustus 2010

Perusahaan Wajib Bayar THR

Serang (ANTARA News) - Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Banten Eutik Suarta menyatakan bahwa seluruh perusahaan di Banten wajib membayar hak tunjangan hari raya (THR) seperti tahun-tahun sebelumnya.

"Kami minta kepada seluruh perusahaan di Banten untuk membayar THR kepada karyawannya masing-masing. Para pekerja di Banten harus mendapat hak THR-nya," kata Eutik di Serang, Banten, Minggu.

Ia menguraikan, saat ini ada sekitar 6.670 Perusahaan yang terdata di Disnakertrans Provinsi Banten, dan pihaknya, dalam waktu dekat akan menyampaikan surat edaran dari pemerintah pusat tentang kewajiban setiap perusahaan membayarkan THR.

"Pemberian tunjangan hari raya untuk karyawan nonmuslim disesuaikan dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 4 Tahun 2004 mengenai Tunjangan Keagamaan," katanya.

Sebab, kata Eutik, di dalamnya disebutkan mengenai tunjangan THR.

"Untuk karyawan yang memiliki masa kerja lebih dari 12 bulan atau satu tahun, perusahaan wajib memberikan THR sebesar satu kali gaji, Sedangkan untuk yang kurang dari satu tahun, diserahkan kebijakannya kepada perusahaan," katanya.

Terpisah, Anggota Komisi V DPRD Provinsi Banten Ei Nurul Chotimah juga menekankan hal sama kepada seluruh perusahaan di Banten. Komisi V menurutnya akan memantau kepatuhan perusahaan terhadap kewajiban membayar THR.

"Ini dilakukan untuk memastikan realisasi pembayaran THR. Untuk jadwal kunjunganya sedang dipersiapkan. Pemantauan akan dimulai setelah pekan kedua Ramadhan, kami ingin memastikan apakah masing-masing membayar THR atau tidak," kata Ei.

Ei menegaskan, jika ada perusahaan yang ditemukan tidak membayarkan THR untuk karyawannya, pihaknya akan membawanya ke jalur hukum.

Ini karena penetapan memberikan THR itu, kata Ei, sudah dilindungi dalam undang-undang ketenagakerjaan.

"Jadi, Kalau sudah ada ketentuannya dalam undang-undang itu perusahan harus bayar THR. Jika tidak membayar THR, perusahannya harus diproses hukum," katanya.

Selasa, 17 Agustus 2010

PELANGGARAN HAM TERHADAP BURUH DENGAN ADANYA SISTEM OUTSOURCHING

Pelanggaran HAM Terhadap Buruh dengan Adanya Sistem Outsourching
(artikel ini dari tugas akhir mata kuliah pengantar studi HAM, ditulis oleh Muh. Andi Nasrullah)
Mahasiswa jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM angkatan 2009

HAK ASASI BAGI BURUH

Hak asasi manusia merupakan hak dasar manusia sejak lahir dan semua manusia berhak mendapatkannya termasuk para buruh, dalam konteks ini adalah buruh yang bekerja di sektor industri atau pabrik. Sebagai salah satu kelompok yang menggerakkan sektor perekonomian, sudah selayaknya keberadaan buruh diperhatikan. Dalam sejarahnya buruh selalu berada dalam posisi yang tidak menguntungkan, bahkan kerap mengalami pelanggaran HAM seperti yang terjadi pada Marsinah, seorang buruh pabrik yang berada di Sidoarjo yang dibunuh pada tahun 1993.
Saat ini berkembang pula fenomena dalam dunia perburuhan yaitu sistem outsourcing atau buruh kontrak yang banyak diprotes oleh banyak pihak. Sistem ini memperbolehkan perusahaan untuk mengambil tenaga kerja melalui pihak ketiga atau perantara.
Secara hukum, Negara Indonesia sudah melindungi buruh dengan undang-undang yang ada, diantaranya meratifikasi konvensi dari International Labour Organization (ILO) dan dibuatnya UU Ketenagakerjaan no. 13 tahun 2003 tetapi begitu dalam praktiknya juga harus dilihat apakah hukum Indonesia (UU Ketenagakerjaan) telah melindungi hak asasi manusia, yang sudah selayaknya diterima oleh buruh, terutama pada buruh yang bekerja pada sistem outsourcing?

Konvensi ILO

Dalam era globalisasi, isu ketenagakerjaan Indonesia tidak lepas dari dunia Internasional, meningkatnya isu penegakan HAM terutama pada bidang ketenagakerjaan menjadi isu yang penting dalam pergaulan internasional. Konvensi ILO adalah Perjanjian Internasional yang mengatur mengenai ketenagakerjaan tersebut.
Konvensi ILO merupakan traktat internasional yang perlu di ratifikasi oleh seluruh negara anggota ILO. Indonesia telah menjadi anggota ILO sejak 1950 dan merupakan negara Asia pertama dan negara kelima di dunia yang telah meratifikasi seluruh konvensi utama ILO. Dengan meratifikasi Konvensi No. 185 pada tahun 2008, maka Indonesia secara keseluruhan telah meratifikasi 18 Konvensi ILO. Penghargaan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja, dikenal dengan Delapan Konvensi Dasar International Labour Organization. Di dalam Konvensi itu terdapat empat aspek, yaitu :
  1. kebebasan berserikat (Konvensi ILO Nomor 87 dan nomor 98)
  2. bebas dari diskriminasi (Konvensi ILO Nomor 100 dan Nomor 111)
  3. pelarangan kerja paksa (Konvensi ILO Nomor 29 dan nomor 105); dan
  4. perlindungan anak (Konvensi ILO Nomor 138 dan Nomor 182)
UU KETENAGAKERJAAN TAHUN 2003

Pembuatan undang-undang ketenagakerjaan tahun 2003 merupakan konsekuensi yuridis dari diratifikasinya Konvensi ILO oleh pemerintah Indonesia. UU ini mengimplementasikan Konvensi ILO pada hukum nasional Indonesia.
Pasal yang kontroversial dari UU ketenagakerjaan 2003 ini terdapat pada pasal 64 yang juga sebagai dasar dari pelegalan sistem outsourcing :
“Perusahaan dapat menyerahkan sebagaian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis”


REALITAS DI LAPANGAN

Pasal yang menjadi sorotan dalam pembahasan ini terdapat pada pasal 64, pasal yang melegalkan perekrutan pekerja dengan sistem outsourcing. Sebelum itu ada baiknya memahami definisi dari sistem outsourcing.
Sistem outsourcing atau buruh kontrak adalah pengalihan sebagian atau seluruh pekerjaan dan atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi pemakaian jasa outsourcing bagi pribadi, perusahaan divisi maupun suatu unit dalam sebuah perusahaan. Outsourcing diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses. Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak.
Pemahaman mudahnya, para buruh tidak bekerja secara langsung kepada perusahaan, tetapi melalui perantara sebuah penyediaan jasa. Bagi perusahaan sendiri para buruh yang di rekrut melalui sistem outsourcing yang biasa disebut buruh kontrak, hanya dianggap sebagai tenaga tambahan. Jadi bagi perusahaan, buruh kontrak adalah tenaga luar yang tidak mempunyai ikatan pekerjaan yang tetap pada perusahaan. Ikatan pekerjaan yang ada akan putus bila masa kontrak sudah habis, atau ada pelanggaran di dalam isi kontrak. Tanggung jawab perusahaan terhadap buruh tetap dibandingkan dengan buruh kontrak ternyata berbeda. Sama halnya dengan dosen tetap dan dosen tidak tetap, pemberlakuan diantara mereka pasti berbeda. Para buruh kontrak mendapat perlakuan berbeda dari kawan mereka yang bekerja sebagai buruh tetap, terutama dalam pemberian besar-kecil upah.
Sejak UU ketenagakerjaan tahun 2003 diberlakukan, sistem outsourcing digunakan oleh mayoritas pabrik atau perusahaan dan mayoritas pekerja adalah buruh kontrak. Jelas bahwa perusahaan-perusahaan menggunakan para buruh kontrak bukan sebagai tenaga tambahan melainkan sebagai usaha untuk mendapatkan biaya tenaga kerja yang murah..
Untuk membuktikan hal ini, saya telah mewawancarai langsung para buruh kontrak pada tanggal 6 Juni 2010 sekitar jam 7 malam. Buruh kontrak yang diwawancarai bekerja di pabrik-pabrik yang berada di daerah Bambe, Gresik Jawa Timur.
Buruh pabrik yang saya wawancarai pertama kali adalah bapak Samidi, beliau pernah bekerja pada dua perusahaan yang berbeda, yang pertama adalah perusahaan TP yang bergerak di bidang pembuatan meubel selama 6 tahun, ketika bapak Samidi bekerja disini belum diterapkan adanya sistem outsourcing. Baru pada perusahaan yang kedua yaitu CA, yang juga bergerak dalam bidang meubel, beliau mendapat pengalaman bekerja sebagai buruh kontrak selama 4 tahun
Dari penuturan bapak Samidi terdapat perbedaan yang jelas antara buruh tetap dengan buruh kontrak, buruh kontrak mendapatkan perpanjangan kontrak setiap 6 bulan sekali dengan upah hanya standar UMR yang dia terima, buruh kontrak tidak mendapatkan tunjangan seperti yang diatur dalam undang-undang, tidak mendapatkan pesangon jika terjadi pemutusan hubungan kerja, dan tidak adanya serikat buruh yang melindungi kepentingan mereka, sehingga para buruh tidak berani untuk menuntut aspirasi dan menuntut kenaikan pendapatan, karena jika berani menuntut akan diberhentikan. Hal ini berbeda ketika bapak Samidi bekerja sebagai buruh tetap di TP, terdapat serikat buruh SPSI yang jika ada masalah, para buruh juga bisa dilibatkan dalam negoisasi dengan para pengusaha. Bapak Samidi juga menjelaskan bahwa di perusahaan CA, keberadaan buruh tetap, bisa dihitung dengan jari, yang mayoritas adalah buruh kontrak.
Wawancara yang kedua kepada Sulis, seorang buruh harian lepas di Pabrik W yang memproduksi alat-alat rumah tangga yang terbuat dari plastik yang dibayar harian sebesar 29 ribu (dibawah UMR). Jadi yang dimaksud dengan buruh harian lepas, sewaktu-waktu dia bisa keluar dari perusahaan atas kehendaknya sendiri, tidak ada kontrak untuk bekerja selama 6 bulan. Dari penuturan Sulis, diketahui mayoritas yang bekerja di Pabrik plastik W adalah buruh harian lepas dan wanita seperti dirinya. Bagi seorang buruh harian lepas, tidak ada pemberian cuti haid ataupun melahirkan yang wajib diberikan oleh perusahaan terhadap buruh wanita. Pemberian cuti hanya diberikan kepada buruh tetap yang jumlahnya sedikit di pabrik itu.
Dalam pemberian upah terlihat ada ketimpangan antara upah yang mereka terima dibandingkan biaya kebutuhan hidup para buruh. Bapak Samidi yang mendapatkan upah UMR sekitar 1juta setiap bulan harus menghidupi dirinya, istri, serta ketiga anaknya. Jadi setiap bulan masing-masing dari mereka mendapatkan uang sekitar 200 ribu untuk biaya hidup. Sementara Sulis yang hanya mendapatkan upah perhari 29 ribu, dalam sebulan dia mendapat 181 ribu. Dengan pendapatan yang kecil tentunya tidak bisa menjamin kesejahteraan mereka, karena upah yang mereka terima digunakan untuk makan, bayar kos, dan yang lainnya.

KESIMPULAN

UU ketenagakerjaan  tahun 2003 telah menjamin hak-hak yang selayaknya diterima oleh buruh, tetapi dengan adanya pasal 64 di dalam UU ketenagakerjaan itu melegalkan perekrutan buruh dengan sistem outsourcing, perusahaan memanfaatkan sistem ini untuk mendapatkan biaya tanaga kerja/buruh yang murah.
Sistem outsourcing sangat merugikan para buruh kontrak dan melanggar hak asasi mereka, pelanggaran ini diantaranya, terdapat diskriminasi atau perlakuan yang berbeda antara buruh tetap dengan buruh kontrak buruh tetap mendapatkan tunjangan, pesangon dan cuti, sementara buruh kontrak tidak bisa mendapatkannya. buruh kontrak tidak bisa mengikuti serikat pekerja, karena status mereka yang hanya pekerja tambahan dari luar. para buruh terpaksa bekerja dengan status buruh kontrak walau dengan upah yang sedikit, karena daya tawar mereka yang lemah tanpa adanya serikat pekerja.
 

Senin, 16 Agustus 2010

KEP-100/MEN/VI/2004 TENTANG PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR : KEP-100/MEN/VI/2004

TENTANG
KETENTUAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA

Menimbang :
a. Bahwa sebagai pelaksanaan pasal 59 ayat 8 Undang Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan perlu diatur    mengenai perjanjian kerja waktu tertentu.
b. Bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.

Mengingat :
1. Undang Undang nomor 3 tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang Undang Pengawasan Perburuhan tahun 1948 nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1951 nomor 4)
2. Undang Undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Repbulik Indonesia tahun 1999 nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3839)
3. Undang Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Repbulik Indonesia tahun 2003 nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 4279)
4. Peraturan Pemerintah nomor 25 tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2000 nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 3952)
5. Keputusan Presiden Republik Indonesia nomor 228/M tahun 2001 tentang Pembentukan Kabinet Gotong Royong

Memperhatikan :
1. Pokok pokok Pikiran Sekretariat Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 6 April 2004
2. Kesepakatan Rapat Pleno Lembaga Kerjasama Tripartit Nasional tanggal 19 Mei 2004

MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu yang selanjutnya disebut PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerja tertentu.
2. Pengusaha adalah :
a. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
b. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
c. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
3. Perusahaan adalah :
a. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang memperkerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
b. Usaha usaha sosial dan usaha usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
4. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pasal 2
1. Syarat kerja yang diperjanjikan dalam PKWT, tidak boleh lebih rendah daripada ketentuan dalam peraturan perundang undangan yang berlaku.
2. Menteri dapat menetapkan ketentuan PKWT khusus untuk sektor usaha dan atau pekerjaan tertentu.

BAB II
PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG SEKALI SELESAI ATAU SEMENTARA SIFATNYA YANG PENYELESAIANNYA PALING LAMA 3 (TIGA) TAHUN
Pasal 3
1. PKWT untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya adalah PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu.
2. PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dibuat untuk paling lama 3 (tiga) tahun.
3. Dalam hal pekerjaan tertentu yang diperjanjikan dalam PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat diselesaikan lebih cepat dari yang diperjanjikan maka PKWT tersebut putus demi hukum pada saat selesainya pekerjaan.
4. Dalam PKWT yang didasarkan atas selesainya pekerjaan tertentu harus dicantumkan batasan suatu pekerjaan dinyatakan selesai.
5. Dalam hal PKWT dibuat berdasarkan selesainya pekerjaan tertentu namun karena kondisi tertentu pekerjaan tersebut belum dapat diselesaikan, dapat dilakukan pembaharuan PKWT.
6. Pembaharuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 5 dilakukan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari setelah berakhirnya perjanjian kerja.
7. Selama tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari sebagaimana dimaksud dalam ayat 6 tidak ada hubungan kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha.
8. Para pihak dapat mengatur lain dari ketentuan dalam ayat 5 dan ayat 6 yang dituangkan dalam perjanjian.

BAB III
PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG BERSIFAT MUSIMAN
Pasal 4
1. Pekerjaan yang bersifat musiman adalah pekerjaan yang pelaksanaannya tergantung pada musim atau cuaca.
2. PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan untuk satu jenis pekerjaan pada musim tertentu.
Pasal 5
1. Pekerjaan pekerjaan yang harus dilakukan untuk memenuhi pesanan atau target tertentu dapat dilakukan dengan PKWT sebagai pekerjaan musiman.
2. PKWT yang dilakukan untuk pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya diberlakukan untuk pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.
Pasal 6
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh berdasarkan PKWT sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 harus membuat daftar nama pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan tambahan.
Pasal 7
PKWT sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 dan pasal 5 tidak dapat dilakukan pembaharuan.

BAB IV
PKWT UNTUK PEKERJAAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN PRODUK BARU
Pasal 8
1. PKWT dapat dilakukan dengan pekerja/buruh untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan.
2. PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk satu kali paling lama 1 (satu) tahun.
3. PKWT sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak dapat dilakukan pembaharuan.
Pasal 9
PKWT sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 hanya boleh diberlakukan bagi pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan diluar kegiatan atau diluar pekerjaan yang biasa dilakukan perusahaan.

BAB V
PERJANJIAN KERJA HARIAN LEPAS
Pasal 10
1. Untuk pekerjaan pekerjaan tertentu yang berubah ubah dalam hal waktu dan volume pekerjaan serta upah didasarkan pada kehadiran, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja harian lepas.
2. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dengan ketentuan pekerja/buruh bekerja kurang dari 21 (duapuluh satu) hari dalam 1 (satu) bulan.
3. Dalam hal pekerja/buruh bekerja 21 (duapuluh satu) hari atau lebih selama 3 (tiga) bulan berturut turut atau lebih maka perjanjian kerja harian lepas berubah menjadi PKWTT.
Pasal 11
Perjanjian kerja harian lepas yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat 1 dan ayat 2 dikecualikan dari ketentuan jangka waktu PKWT pada umumnya.
Pasal 12
1. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh pada pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 wajib membuat perjanjian kerja harian lepas secara tertulis dengan para pekerja/buruh.
2. Perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dibuat berupa daftar pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 sekurang kurangnya memuat :
a. Nama / alamat perusahaan atau pemberi kerja,
b. Nama / alamat pekerja/buruh,
c. Jenis pekerjaan yang dilakukan,
d. Besarnya upah dan /atau imbalan lainnya.
3. Daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat 2 disampaikan kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat selambat lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak mempekerjakan pekerja/buruh.

BAB VI
PENCATATAN PKWT
Pasal 13
PKWT wajib dicatatkan oleh pengusaha kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten / Kota setempat selambat lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak penandatanganan.
Pasal 14
Untuk perjanjian kerja harian lepas sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 maka yang dicatatkan adalah daftar pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat 2.

BAB VII
PERUBAHAN PKWT MENJADI PKWTT
Pasal 15
1. PKWT yang tidak dibuat dalam bahasa Indonesia dan huruf latin berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
2. Dalam hal PKWT dibuat tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 2, atau pasal 5 ayat 2, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak adanya hubungan kerja.
3. Dalam hal PKWT dilakukan untuk pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru menyimpang dari ketentuan pasal 8 ayat 2 dan ayat 3, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak dilakukan penyimpangan.
4. Dalam hal pembaharuan PKWT tidak melalui masa tenggang waktu 30 (tigapuluh) hari setelah berakhirnya perpanjangan PKWT dan tidak diperjanjikan lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, maka PKWT berubah menjadi PKWTT sejak tidak terpenuhinya syarat PKWT tersebut.
5. Dalam hal pengusaha mengakhiri hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan hubungan kerja PKWTT sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, ayat 2, ayat 3 dan ayat 4, maka hak hak pekerja/buruh dan prosedur penyelesaian dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan bagi PKWTT.

BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 16
Kesepakatan kerja waktu tertentu yang dibuat berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor : PER-06/MEN/1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas, Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor : PER-02/MEN/1993 tentang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor : PER-05/MEN/1995 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pada Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi, masih tetap berlaku sampai dengan berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu.

BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 17
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor : PER-06/MEN/1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas, Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor : PER-02/MEN/1993 tantang Kesepakatan Kerja Waktu Tertentu dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor : PER-05/MEN/1995 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu pada Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 18
Keputusan Menteri ini berlaku sejak tanggal ditetapkan.


Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 21 Juni 2004
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,

ttd

JACOB NUWAWEA

Sabtu, 14 Agustus 2010

SEJARAH GERAKAN SERIKAT PEKERJA DI INDONESIA

PENDAHULUAN

Sejarah gerakan serikat pekerja di Indonesia dapat dibagi dalam empat bagian, yang masing masing mempunyai cirri dan karakter sendiri sendiri. Bagian pertama adalah masa penjajahan, yang diwarnai oleh nuansa gerakan kemerdekaan. Bagian kedua adalah masa sesudah merdeka, yang penuh dengan nuansa politik dan kepentingan golongan. Bagian ketiga adalah masa orde baru, yang diwarnai oleh semangat pembangunan dan bagian keempat adalah masa reformasi yang diwarnai oleh semangat mengembalikan kedaulatan rakyat yang hilang di masa orde baru.
Suatu hal yang disadari sampai saat ini adalah nasib pekerja masih belum berubah. Masih seperti dulu, miskin dan tertindas.

GERAKAN SERIKAT PEKERJA MASA PRA KEMERDEKAAN

Gerakan serikat pekerja pada masa penjajahan dimulai dengan lahirnya NIOG (Nederland Indische Onderwys Genootschap) atau Serikat Pekerja Buruh Belanda pada tahun 1879, kemudian disusul oleh Serikat Pekerja Pos pada tahun 1905, Serikat Pekerja Perkebunan dan Serikat Pekerja Gula (1906) dan Serikat Pegawai Pemerintah (1907). Pada masa itu mulai tumbuh berbagai industri barang dan jasa, para pekerja pribumi mulai tahu dan mengerti mengenai hak hak dan kepentingan pekerja. Mereka mulai menyadari pentingnya serikat pekerja sebagai wadah perjuangan perbaikan nasib bagi kaum pekerja, terutama pekerja pribumi.
Lahirnya Budi Oetomo pada tahun 1908, memberi semangat kebangsaan pada gerakan serikat pekerja, sehingga semakin banyak muncul serikat pekerja baru, antara lain :
1. Serikat Pekerja Kereta Api (1913)
2. Serikat Pekerja Perusahaan Swasta (1915)
3. Serikat Pekerja Pabrik Gula (1917)
4. Persatuan Pegawai Pegadaian Bumi Putera (1914)
Dengan banyaknya serikat pekerja tersebut, mulai timbul pikiran untuk mempersatukan serikat pekerja, maka pada tahun 1919 lahir PPKB (Persatuan Pergerakan Kaum Buruh).
Sepanjang tahun 1920 – 1925 timbul berbagai aksi mogok kerja yang dilancarkan oleh pekerja dari beberapa serikat pekerja swasta antara lain :
1. Tahun 1920 anggota PFB (Personeel Fabrik Bond) mogok menuntut pengakuan terhadap keberadaan mereka.
2. Tahun 1922 pekerja pelabuhan Surabaya mogok menuntut perbaikan nasib.
3. Tahun 1923 pegawai kereta api mogok kerja. Tuntutan mereka kurang berhasil, pemerintah Belanda melarang mogok kerja.
4. Tahun 1930 SKBI (Serikat Kaum Buruh Indonesia) dibubarkan oleh pemerintah colonial, dicurigai turut aktif dalam kegiatan pejuang kebangsaan, untuk melanjutkan perjuangan SKBI, tahun 1932 lahir PVPN (Persatuan Vak Bonden Pegawai Negeri) dan PSPI (Persatuan Serikat Pekerja Indonesia) yang didirikan oleh DR Sutomo.
5. Sepanjang tahun 1932 – 1940 pemerintah colonial selalu menghalang halangi berdirinya serikat pekerja di perusahaan perusahaan, kegiatan serikat pekerja selalu ditekan dan diawasi.
6. Pertengahan tahun 1940, pemerintah colonial mengeluarkan undang undang yang mengatur tentang jaminan dan perlindungan kaum pekerja di perusahaan swasta. Dengan undang undang ini, serikat pekerja memperoleh sedikit peluang untuk meningkatkan perjuangannya.
7. Pada tahun 1941, Gabungan Serikat Pekerja Partikelir Indonesia mengadakan konferensi di Semarang yang dihadiri oleh 7 serikat pekerja tingkat nasional, 22 serikat pekerja local dan 2 gabungan serikat pekerja regional. Konferensi berhasil menyusun pengurus yang diketuai oleh RP Soeroso.
Pada masa penjajahan Jepang, semua gerakan serikat pekerja tidak tampak kegiatannya, para tenaga kerja dijadikan ROMUSHA, - KERJA PAKSA TANPA UPAH. Tahun 1942 – 1945 semua gerakan kebangsaan, gerakan serikat pekerja dan semua organisasi kemasyarakatan dibubarkan oleh Jepang.

MASA KEMERDEKAAN MASA ORDE LAMA

Gerakan serikat pekerja di awal kemerdekaan ditandai dengan dibentuknya Barisan Buruh Indonesia (BBI) pada tanggal 19 September 1945, yang bertujuan ikut serta dalam mempertahankan kemerdekan Republik Indonesia.
Tahun 1949, Belanda mengakui kedaulatan Indonesia, Negara berbentuk Federasi (RIS), konstitusinya menganut system Demokrasi Parlementer. Tahun 1950, RIS menjadi Negara Kesatuan RI dengan UUDS 1950 dan system parlementer sampai Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kembali ke UUD 1945.
Dibawah system Demokrasi Parlementer (liberalisme) tersebut, membuat partai politik tumbuh dengan pesat. Bersamaan dengan itu, jumlah serikat pekerja tumbuh berkembang, hal ini dimungkinkan dengan adanya Peraturan Menteri Peruburuhan nomor 90/1965 tentang Pendaftaran Serikat Pekerja yang sifatnya liberalis. Menurut peraturan tersebut, mendirikan serikat pekerja cukup hanya dengan memiliki Anggaran Dasar, Susunan Pengurus dan Daftar Nama Anggota, tanpa ada batasan minimum tentang jumlah anggota, luas wilayah dan struktur organisasi. Pada masa itu terdapat sekitar 150 serikat pekerja tingkat nasional, ratusan serikat pekerja local dan 7 federasi. Dasar dan asasnya bermacam macam, kegiatannya dititikberatkan di bidang politik, bukan diarahkan pada tujuan dasar serikat pekerja untuk melindungi dan membela hak hak dan kepentingan kaum pekerja.
Menjelang pemilu 1955, hampir semua partai politik mendirikan serikat pekerja dengan tujuan memperkuat dukungan dalam pemilu. Beberapa serikat pekerja yang lahir menjelang pemilu 1955, antara lain :
1. Serikat Buruh Islam Indonesia (1947), organ Masyumi
2. Serikat Organisasi Buruh Indonesia, organ PKI.
3. Serikat Buruh Muslimin Indonesia (SARBUMUSI), organ NU.
4. Gabungan Organisasi Buruh Serikat Islam Indonesia (GOBSI), organ PSII.
5. Kesatuan Pekerja Kristen Republik Indonesia (KESPEKRI), organ Partai Kristen Indonesia.
6. Seusai pemilu 1955, muncul lagi serikat pekerja baru, antara lain :
7. Kongres Buruh Islam Merdeka (1956)
8. Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM – 1964)
9. Konsentrasi Golongan Karya Buruh (KONGKARBU – 1968)
10. Persatuan Karyawan dan Buruh Indonesia (PERKABI – 1968), organ KOSGORO
Pada tahun 1956 lahir Badan Kerjasama Buruh Militer (BKS – BUMIL). Pada saat pemutusan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) banyak perusahaan Belanda diambil alih oleh pemerintah. Aksi aksi pekerja perlu dikoordinir dalam Badan Kerjasama Buruh Militer.
Meskipun BKS-BUMIL merupakan lembaga kerjasama yang sifatnya permanent, tapi semangat persatuan dan kesatuan tetap melekat. Anggota organisasi pekerja yang bergabung dalam BKS-BUMIL adalah KBKI, SBII, HISSBI, SOBSI, SOBRI, GOBSI dan SARBUMUSI.


MASA ORDE BARU

Tahun 1966 lahir gerakan Orde Baru. Untuk mendukung gerakan Orde Baru tersebut, Sekretariat Bersama Buruh, membentuk wadah perjuangan Kesatuan Aksi Buruh Indonesia (KABI) yang bersama sama dengan kesatuan aksi lainnya ikut memperjuangkan tegaknya orde baru. Anggota KABI antara lain GASBIINDO, KBKI, SARBUMUSI, GOBSI, KBIM, KESPEKRI, KUBU PANCASILA, SUB PANCASILA dan KBM. Perjuangan KABI sifatnya politis, sedangkan masalah masalah yang bersifat social ekonomi diperjuangkan melalui SEKRETARIAT BERSAMA (Sekber Buruh). Tahun 1969 Sekber Buruh mendirikan MPBI (Majelis Permusyawaratan Buruh Indonesia) yang beranggotakan 21 serikat pekerja antara lain GASBIINDO, KUBU PANCASILA, PGRI, GOBSI, KBM, SARBUMUSI, KBKI dan SUB PANCASILA.
Berdirinya MPBI merupakan langkah lebih maju dibandingkan usaha usaha persatuan sebelumnya. Namun dalam perkembangannya masih belum mampu menanggulangi masalah perburuhan. Hal ini disebabkan karena kedaulatan MPBI berada di tangan anggotanya, sehingga MPBI tidak dapat membuat keputusan keputusan penting tanpa mendapat persetujuan lebih dahulu dari anggotanya.
Sesudah pemilu 1971, para pemimpin nasional bermusyawarah untuk menyederhanakan partai. Kesempatan ini dimanfaatkan pula untuk merealisir persatuan dan kesatuan, sehingga pada tanggal 20 Februari 1973 didirikanlah Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) yang beranggotakan 21 SBLP (Serikat Buruh Lapangan Pekerja) yaitu :
1. Serikat Buruh Pertanian dan Perkebunan (SBPP)
2. Serikat Buruh Rokok dan Tembakau (SBRT)
3. Serikat Buruh Bangunan dan Pekerjaan Umum (SBBPU)
4. Serikat Buruh Tekstil dan Sandang (SBTS)
5. Serikat Buruh Makanan dan Minuman (SBMM)
6. Serikat Buruh Pariwisata (SBPAR)
7. Serikat Buruh Perkayuan (SBP)
8. Serikat Buruh Elektronik (SBE)
9. Serikat Buruh Karet dan Kulit (SBKK)
10. Serikat Buruh Asembling, Mesin dan Perbengkelan (SBMAP)
11. Serikat Buruh Niaga, Bank dan Asuransi (SBNIBA)
12. Serikat Buruh Farmasi dan Kimia (SBFK)
13. Serikat Buruh Logam dan Keramik (SBLK)
14. Serikat Buruh Kesehatan (SBKes)
15. Serikat Buruh Karyawan Maritim Indonesia (SBKMI)
16. Serikat Buruh Percetakan dan Penerbitan (SBPERPEN)
17. Serikat Buruh Minyak, Gas Bumi dan Pertambangan (SBMGPU)
18. Serikat Buruh Kesatuan Pelaut Indonesia (SBKPI)
19. Serikat Buruh Angkutan Sungai, Danau dan Fery (SBSUNDARI)
20. Serikat Buruh Angkutan Jalan Raya (SBAJR)
21. Serikat Buruh Transport Udara (SBTU)
FBSI berbentuk federasi yang demokratis, tidak mengenal perbedaan ras, suku, kepercayaan, kelamin, status social, mandiri, tidak terpengaruh, terikat atau tergantung pada partai, organisasi atau kelompok manapun. Perjuangan FBSI dititikberatkan pada bidang social ekonomi dalam wujud melindungi dan membela hak hak dan kepentingan pekerja, meningkatkan kesejahteraan, perbaikan syarat kerja dan kondisi kerja dan jaminan social.
Sesuai dengan perkembangan orde baru yang menghendaki satu kendali di semua bidang, maka pada MUNAS II FBSI tahun 1985, FBSI berubah menjadi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), bentuk Federasi menjadi Unitaris, menyederhanakan 21 SBLP menjadi 9 departemen di dalam SPSI.
Dalam perjalanannya dirasakan system departemen di dalam unitaris SPSI tidak efektif, yang mengakibatkan SPSI menjadi lambat perkembangannya, maka pada MUNAS III tahun 1990, 9 departemen dikembangkan menjadi 13 sektor yang masing masing Ketua dan Sekretarisnya dipilih dalam MUNAS SPSI.
Selanjutnya dalam MUSPIM tahun 1994 di Bogor, SPSI mengadakan reformasi dan restrukturisasi organisasi dengan menyempurnakan Anggaran Dasar SPSI dan kembali terbentuk Federasi, sehingga 13 sektor tadi menjadi Serikat Pekerja sendiri dengan Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga masing masing, namun tetap dalam Federasi SPSI. Perubahan ini disahkan dalam MUNAS IV tahun 1995.
Pada masa orde baru ini, SPSI menjadi satu satunya wadah bagi pekerja yang diakui pemerintah, namun di sisi lain gerakan serikat pekerja menjadi terpasung dan sulit berkembang.

MASA REFORMASI

Perubahan politik nasional yang ditandai dengan runtuhnya Rezim Soeharto, telah memberi nuansa baru bagi gerakan serikat pekerja di Indonesia. Ini ditandai dengan diratifikasinya Konvensi ILO nomor 87 dan dikeluarkannya Permen nomor 5 tahun 1998 tentang Kebebasan Berserikat. Dengan lahirnya Permen ini, SPSI bukan lagi satu satunya wadah bagi pekerja, setiap pekerja berhak membentuk sendiri serikat pekerja dan bebas bergabung dengan serikat pekerja manapun yang sejenis. Dewasa ini telah terbentuk 16 serikat pekerja baru diluar Federasi SPSI dengan 17 SPA-nya.

LAIN LAIN

Sejalan dengan era reformasi yang membawa perubahan di seluruh sector kehidupan, terjadi pula gangguan dalam tubuh SPSI. Sekelompok orang dengan mengatasnamakan pimpinan SPA membuat Deklarasi pada tanggal 20 Agustus 1998 dengan membentuk apa yang mereka sebut sebagai Presidium FSPSI Reformasi dan menyatakan keluar dari SPSI. Namun gerakan ini tidak mendapat dukungan dari anggota.
MUSPIM FSPSI pada bulan September 1998 yang dihadiri oleh 26 DPD FSPSI se-Indonesia dan perwakilan dari 17 SPA menetapkan untuk menolak deklarasi dan menjatuhkan sanksi pemecatan terhadap oknum yang terlibat deklarasi.
MUSPIM juga memutuskan untuk mengadakan MUNAS FSPSI yang dipercepat, sesuai tuntutan reformasi. Tanggal 19 – 23 Februari 1999 FSPSI menyelenggarakan MUNAS V dipercepat dan telah berhasil menetapkan pengurus baru, menyempurnakan Anggaran Dasar / Anggaran Rumah Tangga dan menetapkan program baru. Yang paling penting dalam MUNAS adalah berlangsungnya rekonsiliasi yaitu dengan kembalinya 19 tokoh pendukung FSPSI Reformasi ke SPSI.

KESIMPULAN

Dalam era reformasi ini serikat pekerja diharapkan akan lebih mampu dan berhasil memperjuangkan dan membela kepentingan anggotanya, reformasi dalam serikat pekerja adalah kembali pada dasar serikat pekerja yaitu dari anggota, oleh anggota dan untuk anggota dan serikat pekerja haruslah independent, artinya tidak terikat dan tidak berafiliasi kepada organisasi manapun.




Sumber : Bahan Pendidikan DPP KSPSI

MARS SPSI