SELAMAT DATANG

Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPTSK-SPSI) Unit Kerja PT TCK Textiles Indonesia yang tercatat pada Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang dengan nomor pencatatan 190/DISNAKER/SP/KAB-TNG/III/2009 tertanggal 30 Maret 2009 dan struktur kepengurusannya disahkan oleh DPC FSPTSK - KSPSI Kabupaten Tangerang. Bermula dari keinginan untuk membangun kerjasama antar serikat pekerja yang lebih baik dan luas, kami merasa perlu untuk membuat portal komunikasi dengan aktivis buruh di seluruh Indonesia.
Meskipun pada tahap awal ini, kami menggunakan jasa free blogging, tahap selanjutnya diharapkan tumbuh kepedulian yang lebih baik sehingga tercipta kerjasama positif.
Kami mengajak seluruh aktivis buruh untuk saling merapatkan barisan terkait beberapa isu yang sedang berkembang seperti Union busting dan PHK.
Akhirnya.......................
Mari kita buka batasan batasan yang membelenggu kita, kita satukan langkah karena tantangan semakin berat.
SALAM PEKERJA......................
Ttd
PUK FSPTSK - KSPSI PT TCK Textiles Indonesia
Sekretariat ; Jl Raya Serang KM 12 Desa Sukadamai Cikupa Tangerang telp. 021 (5960817) ext 234

Minggu, 25 November 2012

PERMENAKER NO 19 TH 2012 TENTANG OUTSOURCING

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2012
TENTANG
SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN  KEPADA PERUSAHAAN LAIN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
  1. bahwa pelaksanaan pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh diarahkan untuk menciptakan iklim hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan;
  2. bahwa ketentuan yang diatur dalamKeputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor                      KEP. 101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 220/MEN/X/2004 tentang  Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan saat ini, sehingga perlu dilakukan penyempurnaan;
  3. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, perlu ditetapkan Peraturan Menteri tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan  Kepada Perusahaan Lain;
Mengingat :
  1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 Dari Republik Indonesia Untuk Seluruh Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1951 Nomor 4);
  2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4279);
  3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4356);
  4. Keputusan Presiden Nomor 84/P Tahun 2009;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI TENTANG SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN KEPADA  PERUSAHAAN  LAIN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
  1. Perusahaan pemberi pekerjaan adalah perusahaan yang menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
  1. Perusahaan penerima pemborongan adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memenuhi syarat untuk menerima pelaksanaan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan.
  2. Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang memenuhi syarat untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi pekerjaan.
  3. Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pemborongan yang memuat hak dan kewajiban para pihak.
  4. Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh adalah perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang memuat hak dan kewajiban para pihak.
  5. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja pada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
  6. Perjanjian kerja adalah perjanjian antara perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh di perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak.
  7. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.

Pasal 2

Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dapat dilakukan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh.

BAB II

PEMBORONGAN PEKERJAAN

Bagian Kesatu

Persyaratan Pemborongan Pekerjaan

Pasal 3
(1)      Perusahaan pemberi pekerjaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan.
(2)      Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
  1. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun  kegiatan pelaksanaan pekerjaan;
  2. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan, dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan;
  3. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar pelaksanaan kegiatan utama sesuai dengan alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha yang dibentuk sesuai peraturan perundang-undangan; dan
  4. tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya kegiatan tersebut merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Pasal 4
(1)       Asosiasi sektor usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c harus membuat alur kegiatan proses pelaksanaan pekerjaan sesuai sektor usaha masing-masing.
(2)       Alur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menggambarkan proses pelaksanaan pekerjaan dari awal sampai akhir serta memuat kegiatan utama dan kegiatan penunjang dengan memperhatikan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
(3)       Alur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dipergunakan sebagai dasar bagi perusahaan pemberi pekerjaan dalam penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan melalui pemborongan pekerjaan.
Pasal 5
Jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan harus dilaporkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan.
Pasal 6
Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 mengeluarkan bukti pelaporan jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan melalui pemborongan pekerjaan paling lambat 1 (satu) minggu sejak pelaporan dilaksanakan oleh perusahaan pemberi pekerjaan.
Pasal 7
(1)      Perusahaan pemberi pekerjaan dilarang menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan apabila belum memiliki bukti pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6.
(2)      Apabila perusahaan pemberi pekerjaan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima pemborongan sebelum memiliki bukti pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan.
Pasal 8
Perusahaan pemberi pekerjaan harus melaporkan secara tertulis setiap perubahan jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan melalui pemborongan pekerjaan, kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan dengan tetap memperhatikan proses sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.

Bagian Kedua

Perjanjian Pemborongan Pekerjaan

Pasal 9
(1)      Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis.
(2)      Perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya harus memuat:
  1. hak dan kewajiban masing-masing pihak;
  2. menjamin terpenuhinya perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh sesuai peraturan perundang-undangan; dan
  3. memiliki tenaga kerja yang mempunyai kompetensi  di bidangnya.
Pasal 10
(1)      Perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus didaftarkan oleh perusahaan penerima pemborongan kepada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan.
(2)      Pendaftaran perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah perjanjian tersebut ditandatangani oleh perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penerima pemborongan, paling lama 30 (tiga puluh) hari kerjasebelum pekerjaan dilaksanakan.
Pasal 11
Dalam hal perjanjian pemborongan pekerjaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan menerbitkan bukti pendaftaran paling lambat 5 (lima)hari kerja sejak berkas permohonan pendaftaran perjanjian diterima.
Bagian Ketiga
Persyaratan Perusahaan Penerima Pemborongan
Pasal 12
Perusahaan penerima pemborongan harus memenuhi persyaratan:
  1. berbentuk badan hukum;
  2. memiliki tanda daftar perusahaan;
  3. memiliki izin usaha; dan
  4. memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan.

Bagian Keempat
Perjanjian Kerja Pemborongan Pekerjaan
Pasal 13
Setiap perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan wajib memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
Perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan mengatur tentang hubungan kerja antara perusahaan penerima pemborongan dengan pekerja/buruhnya yang dibuat secara tertulis.

Pasal 15
Hubungan kerja antara perusahaan penerima pemborongan dengan pekerja/buruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.

Pasal 16


Pelaporan jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan pendaftaran perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 tidak dikenakan biaya.

BAB III

PENYEDIAAN JASA PEKERJA/BURUH

Bagian Kesatu

Persyaratan Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh

Pasal 17
(1)       Perusahaan pemberi pekerjaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.
(2)      Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(3)      Kegiatan jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
  1. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
  2. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering);
  3. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
  4. usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan
  5. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.

Pasal 18

Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dilarang menyerahkan pelaksanaan sebagian atau seluruh pekerjaan yang diperjanjikan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain.

Bagian Kedua

Perjanjian Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh
Pasal 19
Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
  1. jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
  2. penegasan bahwa perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis pekerjaan yang terus menerus ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi penggantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh; dan
  3. hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.
Pasal 20
(1)       Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus didaftarkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.
(2)       Pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditandatangani dengan melampirkan:
  1. izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang masih berlaku; dan
  2. draft perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(3)       Pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dikenakan biaya.
Pasal 21
(1)        Dalam hal perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dan Pasal 20, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan menerbitkan bukti pendaftaran paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak berkas permohonan pendaftaran perjanjian diterima.
(2)       Dalam hal perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana pada ayat (1), maka pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota dapat menolak permohonan pendaftaran dengan memberi  alasan penolakan.

Pasal 22

Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak dapat melakukan operasional pekerjaannya sebelum mendapatkan bukti pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.

Pasal 23

(1)       Dalam hal perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh tidak didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tetap melaksanakan pekerjaan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi mencabut izin operasional berdasarkan rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(2)       Dalam hal izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dicabut, pemenuhan hak-hak pekerja/buruh tetap menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang bersangkutan.

Bagian Ketiga
Persyaratan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh

Pasal 24


Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus memenuhi persyaratan:
  1. berbentuk badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
  2. memiliki tanda daftar perusahaan;
  3. memiliki izin usaha;
  4. memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan;
  5. memiliki izin operasional;
  6. mempunyai kantor dan alamat tetap; dan
  7. memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama perusahaan.

Pasal 25


(1)      Izin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf e diajukan permohonannya oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsitempat pelaksanaan pekerjaan, dengan melampirkan:
  1. copy anggaran dasar yang didalamnya memuat kegiatan usaha penyediaan jasa pekerja/buruh;
  2. copy pengesahan sebagai badan hukum Perseroan Terbatas (PT);
  3. copy surat ijin usaha penyediaan jasa pekerja/buruh;
  4. copy tanda daftar perusahaan;
  5. copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan;
  6. copy pernyataan kepemilikan kantor atau bukti penyewaan kantor yang ditandatangani oleh pimpinan perusahaan; dan
  7. copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama perusahaan.
(2)      Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menerbitkan izin operasional terhadap permohonan yang telah memenuhi persyaratan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan diterima.
(3)      Izin operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku di seluruh kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan.

Pasal 26

(1)       Izin operasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.
(2)       Perpanjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberikan berdasarkan persyaratan yang diatur dalam Peraturan Menteri ini dan hasil evaluasi kinerja perusahaan yang dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(3)       Berdasarkan hasil evaluasi kinerja perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi menyetujui atau menolak.

Bagian Keempat
Perjanjian Kerja Penyediaan Jasa Pekerja/Buruh

Pasal 27

(1)       Setiap perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh wajib membuat perjanjian kerja secara tertulis dengan pekerja/buruh.
(2)       Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicatatkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.
(3)       Dalam hal perjanjian kerja tidak dicatatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi mencabut izin operasional berdasarkan rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(4)       Pencatatanperjanjian kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan biaya.

Pasal 28

Setiap perjanjian kerja penyediaan jasa pekerja/buruh wajib memuat ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Pasal 29

(1)       Hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.
(2)       Dalam hal hubungan kerja didasarkan atas perjanjian kerja waktu tertentu yang objek kerjanya tetap ada sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya harus memuat: 
  1. jaminan kelangsungan bekerja;
  2. jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan yang diperjanjikan; dan
  3. jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh untuk menetapkan upah.
(3)       Hak-hak pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
  1. hak atas cuti apabila telah memenuhi syarat masa kerja;
  2. hak atas jaminan sosial;
  3. hak atas tunjangan hari raya;
  4. hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu;
  5. hak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir bukan karena kesalahan pekerja;
  6. hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari akumulasi masa kerja yang telah dilalui; dan
  7. hak-hak lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan/atau perjanjian kerja sebelumnya.

Pasal 30

Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu tidak memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 dan Pasal 29, maka hubungan kerja antara perusahaan penyedia  jasa pekerja/buruh  dengan pekerja/buruh berubah menjadi hubungan kerja yang didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu sejak ditandatanganinya perjanjian kerja yang tidak memenuhi persyaratan.

Pasal 31

Dalam hal pekerja/buruh tidak memperoleh jaminan kelangsungan bekerja, maka pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.

Pasal 32


(1)       Dalam hal perusahaan pemberi pekerjaan tidak melanjutkan perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh dan mengalihkan pekerjaan penyediaan jasa pekerja/buruh kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, maka perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru, harus melanjutkan perjanjian kerja yang telah ada sebelumnya tanpa mengurangi ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja yang telah disepakati.
(2)       Dalam hal terjadi pengalihan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka masa kerja yang telah dilalui para pekerja/buruh pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang lama harus tetap dianggap ada dan diperhitungkan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru.

BAB IV
PENGAWASAN
Pasal 33

Pengawasan pelaksanaan peraturan ini dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan.

BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 34

(1)          Setiap perusahaan pemberi pekerjaan, perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lama 12 (dua belas) bulan sejak diundangkannya Peraturan Menteri ini.
(2)          Dalam hal perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh  tidak menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tetap bertanggung jawab terhadap hak-hak pekerja/buruh sesuai perjanjian kerja.

BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 35

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan Penyediaan Jasa Pekerja/buruh dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP. 220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 36

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 14 November 2012
MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 19 November 2012
MENTERI
HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
AMIR SYAMSUDIN

Link download : http://bit.ly/Ueb8am

Selasa, 24 April 2012

PEKAN OLAHRAGA PEKERJA WOONGJIN TEXTILES 2012

PESERTA UPACARA PEMBUKAAN PEKAN OLAHRAGA PEKERJA WOONGJIN TEXTILES 2012

 SAMBUTAN KETUA PANITIA

 SAMBUTAN PIMPINAN PERUSAHAAN

 PELEPASAN BALON SEBAGAI TANDA DIMULAINYA PEKAN OLAHRAGA

 HIBURAN SENAM SIK ASIK

 PARA PIMPINAN PERUSAHAAN

 PERTANDINGAN HIBURAN FUTSAL ANTARA KARYAWAN DENGAN PIMPINAN


Selasa, 17 Januari 2012

MK : Aturan Pekerja "Outsourcing" Tidak Ada Dasar Hukumnya

antaranews.com | 17-01-2012 : Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan aturan untuk pekerja kontrak (outsourcing) dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat atau bersyarat.

"Aturan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja atau buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh," kata Ketua Majelis Hakim MK Mahfud MD, saat membacakan putusan di Jakarta, Selasa.

Menurut mahkamah, frasa "perjanjian kerja waktu tertentu" dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa "perjanjian kerja untuk waktu tertentu" dalam Pasal 66 ayat (2) huruf b UU Ketenagakerjaan itu bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dalam perjanjian kerja tersebut tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja/buruh yang objek kerjanya tetap ada, walaupun terjadi pergantian perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.

Permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan ini dimohonkan oleh Didik Suprijadi yang mewakili Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Aliansi Petugas Pembaca Meter Listrik Indonesia (AP2ML).

Dalam pertimbangannya, mahkamah menilai posisi pekerja atau buruh outsourcing dalam hubungannya dengan perusahaan outsourcing menghadapi ketidakpastian kelanjutan kerja apabila hubungan kerja antara pekerja atau buruh dengan perusahaan dilakukan berdasarkan PKWT.

"Apabila hubungan pemberian kerja antara perusahaan yang memberi kerja dengan perusahaan outsourcing atau perusahaan yang menyediakan jasa pekerja atau buruh outsourcing habis karena masa kontraknya selesai, maka habis pula masa kerja pekerja/buruh outsourcing," kata Ahmad Sodiki, saat membacakan pertimbangannya.

Akibatnya, lanjutnya, pekerja/buruh menghadapi risiko tidak mendapatkan pekerjaan selanjutnya karena pekerjaan borongan atau perusahaan penyediaan jasa tidak lagi mendapat kontrak perpanjangan dari perusahaan pemberi kerja.

Selain adanya ketidakpastian mengenai kelanjutan pekerjaan, kata Ahmad Sodiki, pekerja atau buruh akan mengalami ketidakpastian masa kerja yang telah dilaksanakan karena tidak diperhitungkan secara jelas akibat sering bergantinya perusahaan penyedia jasa outsourcing, sehingga berdampak pada hilangnya kesempatan pekerja outsourcing untuk memperoleh pendapatan dan tunjangan yang sesuai dengan masa kerja dan pengabdiannya.

Mahkamah menilai ketidakpastian nasib pekerja atau buruh sehubungan dengan pekerjaan outsourcing tersebut, terjadi karena UU Ketenagakerjaan tidak memberi jaminan kepastian bagi pekerja/buruh outsourcing untuk bekerja dan mendapatkan imbalan serta perlakuan yang layak dalam hubungan kerja dan tidak adanya jaminan bagi pekerja

Untuk mendapat hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, sehingga esensi utama dari hukum perburuhan.

MK juga menyatakan bahwa aturan tersebut tidak saja memberikan kepastian akan kontinuitas pekerjaan para pekerja outsourcing, tetapi juga memberikan perlindungan terhadap aspek-aspek kesejahteraan lainnya, karena dalam aturan tersebut para pekerja outsourcing tidak diperlakukan sebagai pekerja baru.

"Masa kerja yang telah dilalui para pekerja outsourcing tersebut tetap dianggap ada dan diperhitungkan, sehingga pekerja outsourcing dapat menikmati hak-hak sebagai pekerja secara layak dan proporsional," katanya.

Apabila pekerja outsourcing tersebut diberhentikan dengan alasan pergantian perusahaan pemberi jasa pekerja, kata majelis, maka para pekerja diberi kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan berdasarkan hal itu kepada pengadilan hubungan industrial sebagai sengketa hak.

Majelis MK menyatakan bahwa putusan tersebut untuk menghindari perbedaan hak antara pekerja pada perusahaan pemberi kerja dengan pekerja outsourcing yang melakukan pekerjaan yang sama persis dengan pekerja pada perusahaan pemberi kerja.

download putusan disini http://www.ziddu.com/download/18269425/putusan_sidang_27PUU2011-TELAHBACA.pdf.html

SOSIALISASI PERJANJIAN KERJA BERSAMA


Tangerang, Januari 2012


Merupakan agenda perusahaan dan serikat pekerja, tiap 2 tahun sekali mengadakan sosialisasi Perjanjian Kerja Sama (PKB). Kali ini hal serupa juga dilaksanakan baru-baru ini.
Bertempat di education room PT. Woongjin textiles Pabrik 1, karyawan secara hikmat mengikuti sosialisasi/penjelasan tentang PKB. Terdapat beberapa perubahan pada beberapa pasal dalam PKB yang secara umum merupakan sebuah peningkatan kesejahteraan bagi karyawan dan keluarganya. Peningkatan ini disambut karyawan dengan penuh semangat, dengan harapan woongjin akan selalu LEBIH BAIK.



Manajer personalia, GA & HRD sebagai salah satu pembicara dalam sosialisasi PKB ini, menyampaikan secara terbuka hasil-hasil perundingan PKB, disamping itu beliau juga menjawab dari setiap pertanyaan yang disampaikan karyawan kepada manajemen, baik pertanyaan masalah peraturan/PKB, termasuk yang menyangkut prosedur pelayanan maupun keluhan-keluhan yang disampaikan oleh karyawan. Karyawan mengatakan sangat puas dengan sosialisasi PKB sekarang, apalagi sosialisasi kali ini disampaikan dengan visualisasi dan efek teknologi komputer sehingga lebih menarik, simple dan mudah difahami.


Sementara dari pihak serikat pekerja SP TSK SPSI Saudara Eddy Suhendi menyampaikan bahwa PKB kali ini adalah PKB yang tercepat pembahasannya, hanya 4 jam saja dalam 2 kali pertemuan, dengan hasil yang relatif lebih baik dari pada proses PKB sebelumya. Hadir dalam acara ini seluruh tim perunding antara lain: Jasmin, Eddy Suhendi, Subandi, Baihaqi, Rohadi, Achmad Chumaedi dan Devie Juarsa (pihak Serikat Pekerja) dan Abdul Kodir, H. Budi Setiyanto, Eko Winarno dan Michael Triyana WD (pihak perusahaan), sementara Mr. Im Jung Chul dan Mr. Lee Ho Yun berhalangan hadir.




++++ tim kominfo puk sp tsk spsi pt. Woongjin textiles pabrik 1 ++++

Jumat, 06 Januari 2012

PENETAPAN REVISI UMK TANGERANG RAYA

Jumat, 6 Januari 2012 SERANG (Suara Karya):
Pemerintah Provinsi Banten menerbitkan surat keputusan Gubernur Banten terkait penetapan revisi upah minimum kabupaten/ kota wilayah Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kabupaten Tangerang, Kamis. Penetapan revisi UMK Tangerang Tahun 2012 itu tertuang dalam Keputusan Gubernur Nomor 561/ Kep.1-Huk/2012 tentang perubahan atas Keputusan Gubernur nomor 561/Kep.886-Huk/2011 tentang penetapan upah minimum kabupaten/kota se-Provinsi Banten tahun 2012 yang ditandatangani Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Terbitnya SK Gubernur tentang revisi UMK ini disambut gembira sekitar 40 orang perwakilan buruh dari aliansi serikat buruh/serikat pekerja Tangerang Raya yang mendatangi Pemprov Banten untuk mengambil SK tersebut di Serang, Kamis. "Kami tentu menyambut baik terbitnya SK tersebut dan akan segera kami sosialisasikan ke pihak perusahaan dan serikat pekerja," kata perwakilan serikat buruh dari Kabupaten Tangerang Imam Sukarsa. Ia menyatakan dengan telah ditetapkannya SK revisi UMK 2012, maka langkah yang akan dilakukan serikat buruh/serikat pekerja yakni menyampaikannya kepada setiap perusahaan. Menurut dia, bagi perusahaan yang belum memiliki serikat pekerja, pihaknya akan melakukan sosialisasi langsung. Ia menyatakan, dengan terbitnya SK revisi UMK ini maka perjuangan kalangan buruh yang tergabung dalam aliansi serikat pekerja/serikat buruh Tangerang Raya dengan berunjukrasa di kantor Gubernur Banten 29 Desember 2011 lalu, tidak sia-sia. Sebelumnya ratusan buruh dari Tangerang menggelar aksi unjukrasa di depan kantor Gubernur Banten menanyakan SK revisi tersebut. Mereka kemudian ditemui oleh Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Banten Eutik Suarta. Eutik Suarta menyampaikan tentang telah terbitnya SK Gubernur Banten tentang revisi UMK dan penetapan upah sektoral di Kota Tangerang. "Ibu Gubernur selalu mengakomodasi aspirasi buruh. Namun demikian, untuk penetapan UMK 2013 nanti hendaklah hal ini tidak terjadi lag, sehingga usulan UMK hendaklah satu kali saja," kata Eutik. Setelah itu, Eutik secara langsung menyerahkan salinan SK revisi UMK dan penerapan upah sektoral di Kota Tangerang yang diterima perwakikan buruh Gozali. Berdasarkan salinan SK yang diterima, perubahan besaran UMK tersebut yakni Kota Tangerang dan Kota Tangsel dari sebelumnya Rp 1.381.000 menjadi Rp 1.529.150 dan Kabupaten Tangerang dari Rp 1.379.000 menjadi Rp 1.527.150. Revisi UMK tersebut didasarkan pada surat Wali Kota Tangerang Nomor 560/452-Disnaker/2011 tanggal 13 Desember 2011, Wali Kota Tangsel Nomor 561/1699.aDSKT/2011 tanggal 23 Desember 2011, dan Bupati Tangerang Nomor 560/2693-DTKT/XII/2011 tanggal 30 Desember perihal permohonan revisi UMK 2012. (Antara/Dwi Putro AA)

Minggu, 01 Januari 2012

Ratu Atut Setujui tuntutan Buruh naikkan Upah





Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah menyetujui tuntutan revisi upah minimum kabupaten/kota 2012 yang diajukan Aliansi Serikat Buruh/Serikat Pekerja Tangerang Raya, Kamis (29/12/2011). Persetujuan itu disampaikan Atut pada Kamis menjelang pukul 23.00 melalui sambungan telepon kepada Imam, salah seorang perwakilan buruh yang sejak sore menunggu kepastian tuntutan mereka di Pendapa Gubernuran Banten.
Telepon genggam yang dipakai dalam percakapan itu adalah milik Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Banten Eutik Suarta. Percakapan telepon itu diperkeras suaranya sehingga dapat didengar oleh mereka yang hadir di ruang depan Pendapa Gubernuran Banten.
"Revisi UMK untuk Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang dan Tangerang Selatan disetujui dan disamakan dengan DKI Jakarta sebesar Rp1.529.150," ujar Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Jumat (30/12/2011).
Pada kesempatan tersebut Atut juga meminta agar pada tahun 2013 jangan sampai lagi ada dua kali SK penetapan UMK. Dia meminta soal UMK diolah dulu di tingkat kabupaten/kota agar disetujui semua pihak.
Pemerintah provinsi (Pemprov) Banten mengabulkan tuntutan mereka untuk merevisi Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dari Rp1.381.000 menjadi Rp1.529.150 per bulan.
Sedangkan empat tuntutan buruh lainnya, yaitu mencabut Permen No 17 Tahun 2005, mereformasi dewan pengupahan dan menghapus sistim kontrak dan outsourching, kata Atut, masih dalam pengkajian.
Begitu mendengar tuntutan mereka dipenuhi, ribuan buruh yang berada di depan Kantor Gubernur Banten sontak menyambut riuh. Para buruh pun mengurungkan niatnya untuk bermalam di depan Pendapa Gubernuran Banten. Sekitar pukul 23.15 WIB, para buruh mulai meninggalkan lokasi unjuk rasa dan kembali ke Tangerang menggunakan sepeda motor dan bus.
Keputusan Pemerintah Provinsi Banten ini disambut gembira para buruh. Mereka pun merayakannya dengan penuh suka cita.
"Mulai Januari mendatang upah buruh telah Rp1.529.150 per bulan,"  tegas Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Dwi Jatmiko.
sumber : http://www.ratuatut.com

MARS SPSI