Oleh: Muhamad Rusdi(Sekjend Aspek Indonesia dan Direktur TUCC 2006-2009)
Ada beberapa alasan mengapa buruh tidak mau berserikat dan aktif di serikat, alasan pertama biasanya takut karena tidak memamahi Undang-undang yang mengatur perlindungan hak pekerja dan kebebasan berserikat. Tetapi tidak sedikit orang yang tahu undang-undang tetap saja banyak yang tidak mau bergabung dengan nserikat pekerja.
Tulisan ini diharapkan mampu meyakinkan kita semua untuk berserikat dan aktif di serikat dengan mengupas berbagai sisi yang berkaitan dengan problematika pekerja. Dan tulisan ini sengaja tidak membahas aspek hukum perburuhan tetapi lebih pada aspek psikologi, ekonomi dan politik dimana pendekatan pada aspek hukum sudah sering dilakukan sedangkan pada aspek selain hukum jarang dilakukan.
I. Mengapa harus Berserikat
Perekonomian yang tidak stabil
Ketidak stabilan perekonomian sebuah negara akan mempengaruhi eksistensi perusahaan maupun eksisitensi buruh itu sendiri. Tingginya angka penganguran akan melahirkan ketanya persaingan kerja. Sementara ketatnya persaingan usaha akan melahirkan kebijakan upah murah maupun Flexibilty labor market serta terjadinya ancaman PHK masal akibat perusahan tidak mampu bersaing dalam kompetisi yang kian ketat dan pada akhirnya akan merugikan nasib para buruh.Mengenai hal ini, akan kita bahas secara singkat satu persatu masalah tersebut dan efeknya buat buruh.
1. Tingginya Angka pengangguran
Angka pengangguran di Indonesia maupun di provinsi NAD, telah mencapai angka diatas 10 % dari total angkatan kerja 1.570.000 angkatan kerja ( berarti sekitar 157.000 angka pengangguran ) . Untuk data global, Indonesia sekitar 10 % dari 108 juta ( sekitar 11 juta orang pengangguran )
2. Krisis ekonomi dan Ancaman PHK Masal
Krisis minyak dunia serta krisis ekonomi yang melanda USA, membuat kondisi ekonomi dunia guncang, kondisi ini sangat menghawatirkan negara-negara berkembang. Karena ketika ekonomi dunia guncang, maka efeknya akan sangat luar biasa bagi masayarakat. Ancaman inflasi yang berefek pada tingginya harga barang serta menurunnya daya beli masyarakat akan mendorong bangkrutnya perusahaan-perusahaan yang bermodal pas-pasan.
Akibat resesi ekonomi global dan ketidakmampuan perusahaan bertahan dalam kondisi sulit, maka ancaman PHK masal seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang melanda sektor perbankan serta beberapa sektor jasa bisa terulang setiap saat. Bagi pekerja, hal ini harus dicermati secara seksama. Karena banyak kasus ketika terjadi PHK masal, hak-hak pekerja tidak didapat secara maksimal. Banyak para investor kabur begitu saja tanpa memberikan pesangon. Atau ketika aset perusahaan di lelang, uapah dan pesangon pekerja tidak menjadi prioritas yang harus dibayarkan.
3. Pemerintah yang tak berdaya karena besarnya Hutang
Utang Indonesia kini telah mencapai angka 1300 an triliun, dimana setiap tahunnya menganggarkan sekitar 25 % ( 125 triliun ) dari APBN sebesar 425 triliun. Untuk bayar utang ( termasuk cicilannya ) sebuah angka yang sangat besar, dan kita nggak tahu kapan akan berakhir utang Indonesia. Karena hampir setiap tahun Indonesia berhutang, sementara penggunaanya tidak jelas, entah karena korupsi birokrat yang telah merajalela dan penggunaan yang kurang jelas seperti pengucuran dana ke kreditor bejat untuk menutupi hutang mereka.
4. Ketergantungan terhadap Investor
Tingginya angka pengangguran serta tingginya angka kemiskinan, membuat pemerintah terkadang menjadi gamang. Karena biasanya suksesnya sebuah pemerintahan diukur dari besarnya angka kemiskinan, besarnya angka penganguran serta besarnya angka pertumbuhan ekonomi. Dalam teori ekonomi kapitalis, cara untuk mengurangi pengangguran dan menaikan angka pertumbuhan ekonomi adalah terbukanya lapangan kerja.
Lapangan kerja yang bersifat masal adalah sektor indusri dan jasa, dimana untuk sektor ini, yang menguasainya adalah para pemilik modal besar dari perusahaan Multi National Company ( MNC ) yang wilayah bisnisnya ada dibanyak negara. Kuatnya pengaruh perusahaan MNC dan lemahnya psosisi tawar pemerintah, terkadang pemerintah memperlakukannya sangat istimewa. Sehingga kebijkannya lebih memperhatikan investor daripada kondisi para pekerja.
Pemerintah Kita lebih butuh mereka ( Investor ) dari pada mempedulikan pekerja. Kalau upah buruh naik atau sering terjadi pemogokan, mereka mengancam akan pindah. Apalagi potensi alternatifnya banyak, Vietnam, RRC, India dan lain-lain.
5. Kebijakan Upah Murah dan PHK tanpa pesangon
Ketika persaingan usaha makin ketat, untuk tetap mempertahankan keuntungan pengusaha, hal yang biasa dilakukan adalah memangkas biaya pengeluaran. Cara yang paling mudah adalah memangkas biaya upah pekerja dan biaya PHK. Upah pekerja baru dibuat rendah sedangkan upah pekerja lama kenaikannya sangat rendah, bahkan dibeberapa perusahaan, kenaikan upahnya hanya mengikuti kenaikan UMP. Sehingga secara substansi, pekerja tidak pernah mendapatkan kenaikan upah.
Hal kedua yang dilakukan pengusaha, biasanya memamngkas biaya pesangon, dengan cara : Pertama, membuat kebijakkan perbanyak karyawan kontrak dan karyawan outsourching. Sehingga perusahaan dengan leluasa dapat memberhentikan pekerja kapan saja tanpa perlu membayar uang pesangon. Dan bagi pekerja agak susah untuk bernegoisasi karena lemahnya posisi tawar pekerja.
6. Dilematis buruh
Pertama, Fenomena tingginya angka pengangguran, minimnya peluang kerja serta lemahnya daya saing pekerja menjadikan para pencari kerja mempunyai posisi tawar yang lemah dihadapan calon pemberi kerja. Akibatnya, tawaran pekerjaan walaupun upahnya tidak terlalu tinggi, serta hubungan kerjanya hanya bersifat kontrak atau malah outsourching, tidak mengurangi semangat untuk terus maju memperebutkan posisi kosong dalam sebuah perusahaan. Kata-kata yang sering terlontar dari para pencari kerja, apalagi yang belum pernah bekerja sering terucap ” yang penting kerja dulu cari pengalaman ”. Masalah gaji dan status bagaimana nanti
Kedua, Kondisi yang lemah menjadi masalah buat buruh ketika mereka mau melakukan perlawanan menghadapi siapapun. Apakah dia menghadapi majikan atau negara. Padahal negara dari dulu selalu tersandera oleh kondisi ekonomi yang lemah. Sehingga negara lebih butuh investor dari pada membela buruh. Dan mengorbankan buruh resikonya lebih kecil dari pada mengorbankan modal. Inilah akar persoalan buruh, mereka bisa saja mogok, bisa macam-macam tapi penyelesaiannya selalu kalah.
II. Hilangnya nurani pengusaha
Dalam konteks perselisihan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja, hampir semua masalah berasal kebijakan pengusaha yang tidak populis dimata pekerja yang secara umum bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Kebijakan pengusaha tersebut didorong oleh beberapa faktor, seperti :
1. Kuatnya mental matrealistis
Hal ini dipengaruhi adanya keinginan yang besar dari pengusaha untuk meraih laba semaksimal dengan mengorbankan kepentingan apapun termasuk mengorbankan pekerja didalamnya. Motif tersebut akhirnya bererfek dalam hal mempersepsikan pekerja yang hanya dianggap sebagai alat produksi yang harus dioptimalkan dan diperas seperti mesin, siang dan malam untuk mencapai target produksi.
2. Kuatnya mental Feodal
Penyakit kalsik dari para pemimpin atau atasan adalah kuatnya mental feodal, yakni sebuah mental dimana pengusaha tidak menyukai ada bawahannya yang melakukan kritik atau sampai titik melawan kebijkannya. Karena hal ini dianggap sebuah pembangkangan dan akan menghambat kepentingannya dalam mencapai keuntungan sebesar-besarnya.
3. Mungkinkan buruh dianggap sebagai mitra atau keluarga dari pengusaha
Kebijakan pengusaha tersebut dipengaruhi karena hilangnya nurani pengusaha yang mempersepsikan kaya adalah sebagai tujuan akhir bukan sebagai tujuan antara. Dalam kondisi ini kita merindukan pengusaha yang mempunyai nurani, dimana mereka mempersepsikan pekerja sebagai mitra. Bahkan jika mungkin pekerja dipersepsikan sebagai keluarga.
Persepsi pekerja sebagai mitra atau keluarga / saudar, akan melahirkan sikap yang akan memperhatikan kesejahteraan buruh sebagai kewajibannya bukan sebagai suatu hal yang sis-sia apalagi sebagai sebuah beban. Menjadi kaya bukan sebagai tujaun akhir, tetapai tujuan antara agar dapat menolong orang lain.
III. Besar tapi tak berdaya
Menjadi pertanyaan besar bagi kita bersama, mengapa buruh yang mempunyai jumlah masa terbesar di sebuah negara, tetapi pengaruhnya dalam kehidupan berpolitik maupun bermasyarakat hampir tak terdengar, bahkan dalam beberapa hal nasibnya senantiasa termarginalkan, yang hanya menjadi sapi perah majikan serta hanya diambil devisanya saja oleh pemerintah tetapi nasib para buruh migran tak diurus dengan baik. Dan bagi partai politik, buruh adalah massa mengambang yang sangat menggiurkan suaranya.
1. Mengapa buruh tak berdaya
a. Teralienasi dari dirinya dan Masyarakat
Dalam posisi buruh harus bekerja untuk mempertahankan eksistensinya, dalam perjalanannya tidak sedikit para buruh yang terperangkap kedalam putaran kehidupan yang memisahkan ia dengan dirinya dan bahkan dalam batas tertentu akan berefek pada kondisi yang lebih parah lagi yakni terasing dalam kehidupan bermasyarakat ketika waktunya tersedot hanya untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Tiba di rumah pada malam hari hanya tinggal sisa energi dan fikiran yang tidak memungkinkan dirinya untuk berinteraksi dengan keluarga dan masyarakat
Walaupun ia bekeja untuk dirnya dan keluarga, namun karena kesibukkan yang luar biasa ia tidak bisa menikmati kebahagiaan dengan keluarganya secara maksimal. Terlebih bagi pekerja yang bekerja dengan shift atau pekerja yang jarak rumahnya dengan tempat ia bekerja memakan waktu 2 hingga 3 jam perjalanan. Atau bagi pekerja yang beban kerjanya cukup berat yang mengharuskan ia pulang lebih lambat atau harus lembur. Waktunya hanya habis di kantor dan diperjalanan.
Dalam beberapa kasus ketika, penghasilan yang ia terima kurang memadai, tidak sedikit para pekerja harus mencari tambahan penghasilan dengan cara : mengikuti program lembur atau melakukan kerja di dua tempat atau mengadakan bisnis kecil-kecilan. Dengan beban kerja demikian padat, maka akan berefek pada lemahnya fisik pekerja tersebut karena kurangnya istirahat dan mengurangi waktunya dia untuk belajar, mengkaji, bertafakkur atau untuk beribadah.
b. Minimnya kontribusi dan Interaksi
Dengan berbagai keterbatasan yang ada pada akhirnya sulit bagi buruh untuk bisa hidup bermasyarakat dengan baik. Bahkan pada satu titik buruh mempunyai keterbatasan untuk dapat berkontribusi dalam kehidupan masyarakat baik dalam sisi waktu maupun dari sisi financial, ya jangankan buat orang lain buat kelurganya saja masih kurang baik waktu maupun financial.
Efek dari minimnya kontribusi dan minimnya interkasi berefek pada lemahnya pengaruh dan lemahnya networking buruh di masyarakat. Gimana buruh mau dibanu, toh dia saja jarang membantu orang lain, kenal saja tidak.
Untuk dapat menyelesaikan masalah ini, jika para pekerja tidak sadar dan terus terperangkap membuat buruh tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini. Akhirnya buruh yang tak berdaya ini butuh belas kasihan orang lain maupun organisasi lain untuk dapat membantu membawa keluar dari masalahnya baik dalam konteks ketertindasannya oleh pengusaha maupun teralieasi dari diri, keluarga dan masyarakat.
2. Realitas gerakan Serikat pekerja
Ketika orang-orang yang lemah yang terbatas berkumpul maka perkumpulannya menjadi perkumpulan orang yang lemah dan terbatas. Dan makin terbatas jika tidak ada perubahan radikal dan sistematis dalam perkumpulan tersebut. Setidaknya ada waktu ekstra dan usaha yang kuat kalau buruh mau maju. Seperti buruh harus banyak membaca , banyak diskusi atau banyak melakukan kerja-kerjapengorganisiran.
Kalau tidak ada perubahan radikal, maka realitas gerakan Serikat pekerja hari ini tidak akan berubah yaitu :
a. Bergerak tanpa Ruh gerakan
b. Berjuang dengan kesadaran sesaat
c. Bertahan dengan egoisme profesi dan sektoral
d. Bertarung tanpa konsep
3. Hilangnya solidaritas antar pekerja
Perjuangan buruh terasa berat ketika salah satu kekuatan buruh yakni solidaritas antar buruh telah hilang, akibatnya ketika buruh yang satu mendapat masalah maka buruh lain akan diam. Hilangnya solidaritas antar pekerja bisa jadi dipengaruhi oleh kuatnya individualisme dan egoisme buruh itu sendiri, misalnya pekerja A mempunyai masalah maka pekerja B yang satu kantor belum tentu mau membantu.
Fenomena menguatnya egoisme sektoral dan egoisme profesi juga terjadi dalam realitas gerakan buruh saat ini, seperti yang terjadi di sebuah Serikat pekerja yang berprofesi perawat. Dimana serikat pekerja tersebut berbasis perawat, yang anggotanya khusus hanya untuk perawat. Sedangkan orang yang berprofesi seperti sopir, apoteker walaupun bekerja pada rumah sakita yang sama, karena bukan perawat ia tidak dapat menjadi anggotanya. Yang akan meneybabkan akan dua kelompok yakni pekeja yang berbasis perawt dan pekerja yang berbasis bukan perawat. Hal ini akan merugikan buruh, karena lemahnya kesatuan serta kesulitan untuk membuat PKB yang berefek pada adanya gesekkan.
4. Lemahnya kultur dan kesadaran berorganisasi
Kebijakan orde baru yang sangat refreship pada saat mereka berkuasa dengan mengontrol atau membubarkan organisasi yang dianggap membahayakan kekuasaan orde baru berefek pada memudarnya semangat dan kultur berorganisasi di kalangan masyarakat. Dikalangan buruh, kondisinya semakin sulit untuk berorganisasi dengan label organisasi buruh, pertama karena organisasi buruh di opinikan mempunyai sejarah dan hubungan dengan komunisme, faktor kedua adalah karena alasan kesibukan kerja dan keluarga yang mereka enggan meluangkan waktunya untuk berorganisasi. Kesadaran berorganisasi biasanya akan timbul, ketika pekerja itu secara pribadi mendapat masalah.
IV. Urgensi berjuang secara kolektif
1. Fondasi gerakan lebih kokoh
Sebuah perjuangan yang dilakukan secara kolektif, akan memperkokoh fondasi gerakan, karena otomatis akan ada sebuah sistem yang dibangun dan tidak mengandalkan perorangan.
2. Saling Menguatkan satu sama lain
Seringkali problem perjuangan disebabkan karena lemah dan menurunnya semangat para anggotanya. Pada kondisi inilah perjuangan secara kolektif sangat terasa manfaatnya karena satu sama lain bisa saling menguatkan, memberi support .
3. Hasil lebih optimal
Semakin banyak orang yang berkualitas berkumpul dalam satu wadah, maka sinergi dari kekuatan personal akan menjadi lebih kuat.
Tulisan ini diharapkan mampu meyakinkan kita semua untuk berserikat dan aktif di serikat dengan mengupas berbagai sisi yang berkaitan dengan problematika pekerja. Dan tulisan ini sengaja tidak membahas aspek hukum perburuhan tetapi lebih pada aspek psikologi, ekonomi dan politik dimana pendekatan pada aspek hukum sudah sering dilakukan sedangkan pada aspek selain hukum jarang dilakukan.
I. Mengapa harus Berserikat
Perekonomian yang tidak stabil
Ketidak stabilan perekonomian sebuah negara akan mempengaruhi eksistensi perusahaan maupun eksisitensi buruh itu sendiri. Tingginya angka penganguran akan melahirkan ketanya persaingan kerja. Sementara ketatnya persaingan usaha akan melahirkan kebijakan upah murah maupun Flexibilty labor market serta terjadinya ancaman PHK masal akibat perusahan tidak mampu bersaing dalam kompetisi yang kian ketat dan pada akhirnya akan merugikan nasib para buruh.Mengenai hal ini, akan kita bahas secara singkat satu persatu masalah tersebut dan efeknya buat buruh.
1. Tingginya Angka pengangguran
Angka pengangguran di Indonesia maupun di provinsi NAD, telah mencapai angka diatas 10 % dari total angkatan kerja 1.570.000 angkatan kerja ( berarti sekitar 157.000 angka pengangguran ) . Untuk data global, Indonesia sekitar 10 % dari 108 juta ( sekitar 11 juta orang pengangguran )
2. Krisis ekonomi dan Ancaman PHK Masal
Krisis minyak dunia serta krisis ekonomi yang melanda USA, membuat kondisi ekonomi dunia guncang, kondisi ini sangat menghawatirkan negara-negara berkembang. Karena ketika ekonomi dunia guncang, maka efeknya akan sangat luar biasa bagi masayarakat. Ancaman inflasi yang berefek pada tingginya harga barang serta menurunnya daya beli masyarakat akan mendorong bangkrutnya perusahaan-perusahaan yang bermodal pas-pasan.
Akibat resesi ekonomi global dan ketidakmampuan perusahaan bertahan dalam kondisi sulit, maka ancaman PHK masal seperti yang terjadi pada tahun 1997-1998 yang melanda sektor perbankan serta beberapa sektor jasa bisa terulang setiap saat. Bagi pekerja, hal ini harus dicermati secara seksama. Karena banyak kasus ketika terjadi PHK masal, hak-hak pekerja tidak didapat secara maksimal. Banyak para investor kabur begitu saja tanpa memberikan pesangon. Atau ketika aset perusahaan di lelang, uapah dan pesangon pekerja tidak menjadi prioritas yang harus dibayarkan.
3. Pemerintah yang tak berdaya karena besarnya Hutang
Utang Indonesia kini telah mencapai angka 1300 an triliun, dimana setiap tahunnya menganggarkan sekitar 25 % ( 125 triliun ) dari APBN sebesar 425 triliun. Untuk bayar utang ( termasuk cicilannya ) sebuah angka yang sangat besar, dan kita nggak tahu kapan akan berakhir utang Indonesia. Karena hampir setiap tahun Indonesia berhutang, sementara penggunaanya tidak jelas, entah karena korupsi birokrat yang telah merajalela dan penggunaan yang kurang jelas seperti pengucuran dana ke kreditor bejat untuk menutupi hutang mereka.
4. Ketergantungan terhadap Investor
Tingginya angka pengangguran serta tingginya angka kemiskinan, membuat pemerintah terkadang menjadi gamang. Karena biasanya suksesnya sebuah pemerintahan diukur dari besarnya angka kemiskinan, besarnya angka penganguran serta besarnya angka pertumbuhan ekonomi. Dalam teori ekonomi kapitalis, cara untuk mengurangi pengangguran dan menaikan angka pertumbuhan ekonomi adalah terbukanya lapangan kerja.
Lapangan kerja yang bersifat masal adalah sektor indusri dan jasa, dimana untuk sektor ini, yang menguasainya adalah para pemilik modal besar dari perusahaan Multi National Company ( MNC ) yang wilayah bisnisnya ada dibanyak negara. Kuatnya pengaruh perusahaan MNC dan lemahnya psosisi tawar pemerintah, terkadang pemerintah memperlakukannya sangat istimewa. Sehingga kebijkannya lebih memperhatikan investor daripada kondisi para pekerja.
Pemerintah Kita lebih butuh mereka ( Investor ) dari pada mempedulikan pekerja. Kalau upah buruh naik atau sering terjadi pemogokan, mereka mengancam akan pindah. Apalagi potensi alternatifnya banyak, Vietnam, RRC, India dan lain-lain.
5. Kebijakan Upah Murah dan PHK tanpa pesangon
Ketika persaingan usaha makin ketat, untuk tetap mempertahankan keuntungan pengusaha, hal yang biasa dilakukan adalah memangkas biaya pengeluaran. Cara yang paling mudah adalah memangkas biaya upah pekerja dan biaya PHK. Upah pekerja baru dibuat rendah sedangkan upah pekerja lama kenaikannya sangat rendah, bahkan dibeberapa perusahaan, kenaikan upahnya hanya mengikuti kenaikan UMP. Sehingga secara substansi, pekerja tidak pernah mendapatkan kenaikan upah.
Hal kedua yang dilakukan pengusaha, biasanya memamngkas biaya pesangon, dengan cara : Pertama, membuat kebijakkan perbanyak karyawan kontrak dan karyawan outsourching. Sehingga perusahaan dengan leluasa dapat memberhentikan pekerja kapan saja tanpa perlu membayar uang pesangon. Dan bagi pekerja agak susah untuk bernegoisasi karena lemahnya posisi tawar pekerja.
6. Dilematis buruh
Pertama, Fenomena tingginya angka pengangguran, minimnya peluang kerja serta lemahnya daya saing pekerja menjadikan para pencari kerja mempunyai posisi tawar yang lemah dihadapan calon pemberi kerja. Akibatnya, tawaran pekerjaan walaupun upahnya tidak terlalu tinggi, serta hubungan kerjanya hanya bersifat kontrak atau malah outsourching, tidak mengurangi semangat untuk terus maju memperebutkan posisi kosong dalam sebuah perusahaan. Kata-kata yang sering terlontar dari para pencari kerja, apalagi yang belum pernah bekerja sering terucap ” yang penting kerja dulu cari pengalaman ”. Masalah gaji dan status bagaimana nanti
Kedua, Kondisi yang lemah menjadi masalah buat buruh ketika mereka mau melakukan perlawanan menghadapi siapapun. Apakah dia menghadapi majikan atau negara. Padahal negara dari dulu selalu tersandera oleh kondisi ekonomi yang lemah. Sehingga negara lebih butuh investor dari pada membela buruh. Dan mengorbankan buruh resikonya lebih kecil dari pada mengorbankan modal. Inilah akar persoalan buruh, mereka bisa saja mogok, bisa macam-macam tapi penyelesaiannya selalu kalah.
II. Hilangnya nurani pengusaha
Dalam konteks perselisihan yang terjadi antara pengusaha dan pekerja, hampir semua masalah berasal kebijakan pengusaha yang tidak populis dimata pekerja yang secara umum bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Kebijakan pengusaha tersebut didorong oleh beberapa faktor, seperti :
1. Kuatnya mental matrealistis
Hal ini dipengaruhi adanya keinginan yang besar dari pengusaha untuk meraih laba semaksimal dengan mengorbankan kepentingan apapun termasuk mengorbankan pekerja didalamnya. Motif tersebut akhirnya bererfek dalam hal mempersepsikan pekerja yang hanya dianggap sebagai alat produksi yang harus dioptimalkan dan diperas seperti mesin, siang dan malam untuk mencapai target produksi.
2. Kuatnya mental Feodal
Penyakit kalsik dari para pemimpin atau atasan adalah kuatnya mental feodal, yakni sebuah mental dimana pengusaha tidak menyukai ada bawahannya yang melakukan kritik atau sampai titik melawan kebijkannya. Karena hal ini dianggap sebuah pembangkangan dan akan menghambat kepentingannya dalam mencapai keuntungan sebesar-besarnya.
3. Mungkinkan buruh dianggap sebagai mitra atau keluarga dari pengusaha
Kebijakan pengusaha tersebut dipengaruhi karena hilangnya nurani pengusaha yang mempersepsikan kaya adalah sebagai tujuan akhir bukan sebagai tujuan antara. Dalam kondisi ini kita merindukan pengusaha yang mempunyai nurani, dimana mereka mempersepsikan pekerja sebagai mitra. Bahkan jika mungkin pekerja dipersepsikan sebagai keluarga.
Persepsi pekerja sebagai mitra atau keluarga / saudar, akan melahirkan sikap yang akan memperhatikan kesejahteraan buruh sebagai kewajibannya bukan sebagai suatu hal yang sis-sia apalagi sebagai sebuah beban. Menjadi kaya bukan sebagai tujaun akhir, tetapai tujuan antara agar dapat menolong orang lain.
III. Besar tapi tak berdaya
Menjadi pertanyaan besar bagi kita bersama, mengapa buruh yang mempunyai jumlah masa terbesar di sebuah negara, tetapi pengaruhnya dalam kehidupan berpolitik maupun bermasyarakat hampir tak terdengar, bahkan dalam beberapa hal nasibnya senantiasa termarginalkan, yang hanya menjadi sapi perah majikan serta hanya diambil devisanya saja oleh pemerintah tetapi nasib para buruh migran tak diurus dengan baik. Dan bagi partai politik, buruh adalah massa mengambang yang sangat menggiurkan suaranya.
1. Mengapa buruh tak berdaya
a. Teralienasi dari dirinya dan Masyarakat
Dalam posisi buruh harus bekerja untuk mempertahankan eksistensinya, dalam perjalanannya tidak sedikit para buruh yang terperangkap kedalam putaran kehidupan yang memisahkan ia dengan dirinya dan bahkan dalam batas tertentu akan berefek pada kondisi yang lebih parah lagi yakni terasing dalam kehidupan bermasyarakat ketika waktunya tersedot hanya untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Tiba di rumah pada malam hari hanya tinggal sisa energi dan fikiran yang tidak memungkinkan dirinya untuk berinteraksi dengan keluarga dan masyarakat
Walaupun ia bekeja untuk dirnya dan keluarga, namun karena kesibukkan yang luar biasa ia tidak bisa menikmati kebahagiaan dengan keluarganya secara maksimal. Terlebih bagi pekerja yang bekerja dengan shift atau pekerja yang jarak rumahnya dengan tempat ia bekerja memakan waktu 2 hingga 3 jam perjalanan. Atau bagi pekerja yang beban kerjanya cukup berat yang mengharuskan ia pulang lebih lambat atau harus lembur. Waktunya hanya habis di kantor dan diperjalanan.
Dalam beberapa kasus ketika, penghasilan yang ia terima kurang memadai, tidak sedikit para pekerja harus mencari tambahan penghasilan dengan cara : mengikuti program lembur atau melakukan kerja di dua tempat atau mengadakan bisnis kecil-kecilan. Dengan beban kerja demikian padat, maka akan berefek pada lemahnya fisik pekerja tersebut karena kurangnya istirahat dan mengurangi waktunya dia untuk belajar, mengkaji, bertafakkur atau untuk beribadah.
b. Minimnya kontribusi dan Interaksi
Dengan berbagai keterbatasan yang ada pada akhirnya sulit bagi buruh untuk bisa hidup bermasyarakat dengan baik. Bahkan pada satu titik buruh mempunyai keterbatasan untuk dapat berkontribusi dalam kehidupan masyarakat baik dalam sisi waktu maupun dari sisi financial, ya jangankan buat orang lain buat kelurganya saja masih kurang baik waktu maupun financial.
Efek dari minimnya kontribusi dan minimnya interkasi berefek pada lemahnya pengaruh dan lemahnya networking buruh di masyarakat. Gimana buruh mau dibanu, toh dia saja jarang membantu orang lain, kenal saja tidak.
Untuk dapat menyelesaikan masalah ini, jika para pekerja tidak sadar dan terus terperangkap membuat buruh tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini. Akhirnya buruh yang tak berdaya ini butuh belas kasihan orang lain maupun organisasi lain untuk dapat membantu membawa keluar dari masalahnya baik dalam konteks ketertindasannya oleh pengusaha maupun teralieasi dari diri, keluarga dan masyarakat.
2. Realitas gerakan Serikat pekerja
Ketika orang-orang yang lemah yang terbatas berkumpul maka perkumpulannya menjadi perkumpulan orang yang lemah dan terbatas. Dan makin terbatas jika tidak ada perubahan radikal dan sistematis dalam perkumpulan tersebut. Setidaknya ada waktu ekstra dan usaha yang kuat kalau buruh mau maju. Seperti buruh harus banyak membaca , banyak diskusi atau banyak melakukan kerja-kerjapengorganisiran.
Kalau tidak ada perubahan radikal, maka realitas gerakan Serikat pekerja hari ini tidak akan berubah yaitu :
a. Bergerak tanpa Ruh gerakan
b. Berjuang dengan kesadaran sesaat
c. Bertahan dengan egoisme profesi dan sektoral
d. Bertarung tanpa konsep
3. Hilangnya solidaritas antar pekerja
Perjuangan buruh terasa berat ketika salah satu kekuatan buruh yakni solidaritas antar buruh telah hilang, akibatnya ketika buruh yang satu mendapat masalah maka buruh lain akan diam. Hilangnya solidaritas antar pekerja bisa jadi dipengaruhi oleh kuatnya individualisme dan egoisme buruh itu sendiri, misalnya pekerja A mempunyai masalah maka pekerja B yang satu kantor belum tentu mau membantu.
Fenomena menguatnya egoisme sektoral dan egoisme profesi juga terjadi dalam realitas gerakan buruh saat ini, seperti yang terjadi di sebuah Serikat pekerja yang berprofesi perawat. Dimana serikat pekerja tersebut berbasis perawat, yang anggotanya khusus hanya untuk perawat. Sedangkan orang yang berprofesi seperti sopir, apoteker walaupun bekerja pada rumah sakita yang sama, karena bukan perawat ia tidak dapat menjadi anggotanya. Yang akan meneybabkan akan dua kelompok yakni pekeja yang berbasis perawt dan pekerja yang berbasis bukan perawat. Hal ini akan merugikan buruh, karena lemahnya kesatuan serta kesulitan untuk membuat PKB yang berefek pada adanya gesekkan.
4. Lemahnya kultur dan kesadaran berorganisasi
Kebijakan orde baru yang sangat refreship pada saat mereka berkuasa dengan mengontrol atau membubarkan organisasi yang dianggap membahayakan kekuasaan orde baru berefek pada memudarnya semangat dan kultur berorganisasi di kalangan masyarakat. Dikalangan buruh, kondisinya semakin sulit untuk berorganisasi dengan label organisasi buruh, pertama karena organisasi buruh di opinikan mempunyai sejarah dan hubungan dengan komunisme, faktor kedua adalah karena alasan kesibukan kerja dan keluarga yang mereka enggan meluangkan waktunya untuk berorganisasi. Kesadaran berorganisasi biasanya akan timbul, ketika pekerja itu secara pribadi mendapat masalah.
IV. Urgensi berjuang secara kolektif
1. Fondasi gerakan lebih kokoh
Sebuah perjuangan yang dilakukan secara kolektif, akan memperkokoh fondasi gerakan, karena otomatis akan ada sebuah sistem yang dibangun dan tidak mengandalkan perorangan.
2. Saling Menguatkan satu sama lain
Seringkali problem perjuangan disebabkan karena lemah dan menurunnya semangat para anggotanya. Pada kondisi inilah perjuangan secara kolektif sangat terasa manfaatnya karena satu sama lain bisa saling menguatkan, memberi support .
3. Hasil lebih optimal
Semakin banyak orang yang berkualitas berkumpul dalam satu wadah, maka sinergi dari kekuatan personal akan menjadi lebih kuat.
Sumber: http://infotucc.blogspot.com