Buruh-buruh perempuan sebagaimana terungkap dalam buku ini kerap menemui sejumlah masalah yang sulit diatasi. Hal tersebut terkait erat dengan pola relasi industrial antara mereka dan penyelia (supervisor) atau pengurus serikat pekerja di tempat mereka bekerja. Linda, Ika, Enong, dan Tati, misalnya, harus selalu siap “meluangkan waktu” untuk kerja lembur di malam hari. Mereka sulit menampik untuk tidak kerja lembur. Tuntutan perusahaan, solidaritas sesama buruh, dan biaya hidup tinggi di perkotaan membuat buruh semakin sulit menghindari kerja lembur. Namun, dalam kerja lembur itu pun tidak jarang muncul kasus ketidaksesuaian antara penghitungan jam lembur dan upah yang diterima. Misalnya, Linda telah bekerja lembur selama 140 jam, namun besar upah lembur yang diterimanya dihitung 100 jam. Hampir serupa dialami Ika yang bekerja di bagian jahit. Fasilitas penerangan sangat tidak memadai, sehingga kedua bola mata Ika segera memerah dan cepat lelah ketika diharuskan kerja lembur.
Di samping kerja lembur buruh perempuan juga wajib memenuhi target produksi tertentu. Mereka tidak memperoleh “insentif”. Apalagi buruh yang tidak berhasil memenuhi target produksi. Ika, misalnya, mengungkapkan bahwa buruh yang gagal memenuhi target produksi yang ditentukan perusahaan biasanya akan dihardik atau dihukum. Sementara buruh yang berhasil memenuhi target tidak memperoleh penghargaan atau imbalan sama sekali. Itu bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk eksploitasi dalam perusahaan. Pola tersebut seolah menjadi sebuah kebiasaan yang terus-menerus berulang. Posisi buruh yang secara individual lemah terpaksa membiasakan diri untuk mengerjakan tugas itu. Dalam situasi semacam itu buruh perempuan tentu membutuhkan bantuan sebuah organisasi pekerja yang kuat dan berpihak kepada kepentingan pekerja sehingga tercipta relasi industrial yang lebih adil.
Kerentanan buruh perempuan terhadap eksploitasi merupakan problem klasik dalam relasi industrial. Di sisi lain, serikat pekerja nyaris tidak befungsi dalam memperjuangkan kepentingan buruh perempuan. Akibatnya meluas pada aspek-aspek lain non-ekonomi yang merendahkan harkat buruh perempuan. Pelecehan seksual secara verbal maupun non-verbal yang dilakukan oleh para penyelia atau satpam perusahaan sering dialami buruh perempuan. Pengurus serikat pekerja yang sebagian besar laki-laki malah meremehkan masalah itu. Buruh perempuan sendiri sulit menyelesaikan kasus tersebut. Pelecehan seksual terhadap buruh perempuan yang terjadi berulang kali dianggap oleh aparatus perusahaan sebagai persoalan tidak serius. Kemungkinan besar mereka kurang atau tidak memahami bahwa pelecehan seksual adalah sebuah bentuk penghinaan. Karena itu, porsi dan eksistensi perempuan di dalam serikat pekerja perlu diperhatikan secara khusus. Selain itu, perspektif dan sensitif gender penting untuk disosialisasikan di kalangan buruh dan aparatus perusahaan supaya menyusun dan menerapkan peraturan-peraturan yang dapat menghukum pelaku pelecehan seksual.
Lemahnya pengaruh serikat pekerja dalam relasi industrial juga mengondisikan bentuk diskriminasi lainnya. Misalnya, sebagian besar fasilitas untuk buruh perempuan yang berada di bawah standar dan “tidak ramah”. Kondisi kamar mandi dan toilet buruh (perempuan) jauh lebih buruk dan kotor dibanding fasilitas serupa untuk aparatus perusahaan. Air kamar mandi dan toilet buruh nyaris tidak bisa dipakai untuk membasuh wajah atau membersihkan tubuh karena berbau busuk dan kotor. Fasilitas tersebut akan “dibenahi” jika wakil perusahaan pemberi kontrak kerja mendatangi perusahaan penerima kontrak kerja. Selain mengambil produk, wakil perusahaan tersebut juga akan memeriksa apakah semua fasilitas umum untuk buruh telah memenuhi standar baku. Karena tidak ingin kehilangan kontrak kerja, perusahaan penerima kontrak kerja tentu akan membenahi atau membersihkan fasilitas umum itu. Namun demikian, buruh perempuan tetap tidak dapat memanfaatkannya. Setiap hari mereka harus membawa minimal satu liter air botol untuk dipergunakan membersihkan tubuh masing-masing. Hal “sederhana” semacam itu agaknya selalu luput dari perhatian serikat pekerja ataupun PUK.
Sebagaimana telah disinggung, serikat pekerja atau PUK perusahaan yang didominasi kaum lelaki kerap mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan kepentingan dan memerhatikan posisi buruh perempuan. Umpamanya rapat-rapat dan pertemuan PUK atau serikat pekerja yang sering diselenggarakan pada malam hari. Ha tersebut tentu menyulitkan sebagian anggotanya, terutama buruh perempuan yang telah berkeluarga. Otomatis mereka akan kehilangan akses, kontrol, dan pengaruh. Representasi buruh perempuan dalam organisasi-organisasi tersebut menjadi rendah dan kebutuhan perempuan yang perlu diperjuangkan pun sering dilupakan. Belum lagi peran ganda dan nilai-nilai sosial yang “menabukan” perempuan keluar malam hari. Itu merupakan kendala bagi buruh perempuan untuk terlibat lebih jauh dalam kegiatan organisasi serikat pekerja. Bahkan tidak jarang peran ganda dianggap memicu keretakan dalam rumah tangga saat perempuan harus meninggalkan kerja domestik untuk mengikuti pertemuan organisasi pada malam hari. Hal itu dialami buruh perempuan yang terlibat aktif dalam PUK atau serikat pekerja yang diteliti tim WRI dalam buku ini.
Ketidakberdayaan PUK dan SP memang tidak hanya disebabkan oleh faktor internal, tetapi juga faktor “luar”. Manajemen perusahaan melemahkan organisasi pekerja secara sistematis dengan tidak memberi perlindungan atau jaminan kepada buruh yang terlibat aktif di dalam organisasi-organisasi itu. Pihak perusahaan juga kerap menjatuhkan sanksi, mengharuskan kerja lembur, memengaruhi bahkan melarang buruh lain untuk terlibat lebih jauh dalam organisasi pekerja. Kecemburuan di antara sesama buruh pun terbangun, sehingga buruh yang aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi pekerja akan selalu dipergunjingkan oleh buruh yang enggan terlibat dalam organisasi itu. Dengan kata lain, pelbagai bentuk intimidasi dijalankan secara sistematik oleh perusahaan untuk melemahkan peran SP dan PUK. Perusahaan bisa melemahkan buruh secara organisasional, namun buruh perempuan mampu menyiasatinya dengan cara lain bersifat non-organisasional.
sumber : www.wri.or.id