SELAMAT DATANG

Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPTSK-SPSI) Unit Kerja PT TCK Textiles Indonesia yang tercatat pada Kantor Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tangerang dengan nomor pencatatan 190/DISNAKER/SP/KAB-TNG/III/2009 tertanggal 30 Maret 2009 dan struktur kepengurusannya disahkan oleh DPC FSPTSK - KSPSI Kabupaten Tangerang. Bermula dari keinginan untuk membangun kerjasama antar serikat pekerja yang lebih baik dan luas, kami merasa perlu untuk membuat portal komunikasi dengan aktivis buruh di seluruh Indonesia.
Meskipun pada tahap awal ini, kami menggunakan jasa free blogging, tahap selanjutnya diharapkan tumbuh kepedulian yang lebih baik sehingga tercipta kerjasama positif.
Kami mengajak seluruh aktivis buruh untuk saling merapatkan barisan terkait beberapa isu yang sedang berkembang seperti Union busting dan PHK.
Akhirnya.......................
Mari kita buka batasan batasan yang membelenggu kita, kita satukan langkah karena tantangan semakin berat.
SALAM PEKERJA......................
Ttd
PUK FSPTSK - KSPSI PT TCK Textiles Indonesia
Sekretariat ; Jl Raya Serang KM 12 Desa Sukadamai Cikupa Tangerang telp. 021 (5960817) ext 234

Rabu, 27 April 2011

BURUH PEREMPUAN DAN RELASI INDUSTRIAL


Buruh-buruh perempuan sebagaimana terungkap dalam buku ini kerap menemui sejumlah masalah yang sulit diatasi. Hal tersebut terkait erat dengan pola relasi industrial antara mereka dan penyelia (supervisor) atau pengurus serikat pekerja di tempat mereka bekerja. Linda, Ika, Enong, dan Tati, misalnya, harus selalu siap “meluangkan waktu” untuk kerja lembur di malam hari. Mereka sulit menampik untuk tidak kerja lembur. Tuntutan perusahaan, solidaritas sesama buruh, dan biaya hidup tinggi di perkotaan membuat buruh semakin sulit menghindari kerja lembur. Namun, dalam kerja lembur itu pun tidak jarang muncul kasus ketidaksesuaian antara penghitungan jam lembur dan upah yang diterima. Misalnya, Linda telah bekerja lembur selama 140 jam, namun besar upah lembur yang diterimanya dihitung 100 jam. Hampir serupa dialami Ika yang bekerja di bagian jahit. Fasilitas penerangan sangat tidak memadai, sehingga kedua bola mata Ika segera memerah dan cepat lelah ketika diharuskan kerja lembur.
Di samping kerja lembur buruh perempuan juga wajib memenuhi target produksi tertentu. Mereka tidak memperoleh “insentif”. Apalagi buruh yang tidak berhasil memenuhi target produksi. Ika, misalnya, mengungkapkan bahwa buruh yang gagal memenuhi target produksi yang ditentukan perusahaan biasanya akan dihardik atau dihukum. Sementara buruh yang berhasil memenuhi target tidak memperoleh penghargaan atau imbalan sama sekali. Itu bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk eksploitasi dalam perusahaan. Pola tersebut seolah menjadi sebuah kebiasaan yang terus-menerus berulang. Posisi buruh yang secara individual lemah terpaksa membiasakan diri untuk mengerjakan tugas itu. Dalam situasi semacam itu buruh perempuan tentu membutuhkan bantuan sebuah organisasi pekerja yang kuat dan berpihak kepada kepentingan pekerja sehingga tercipta relasi industrial yang lebih adil.
Kerentanan buruh perempuan terhadap eksploitasi merupakan problem klasik dalam relasi industrial. Di sisi lain, serikat pekerja nyaris tidak befungsi dalam memperjuangkan kepentingan buruh perempuan. Akibatnya meluas pada aspek-aspek lain non-ekonomi yang merendahkan harkat buruh perempuan. Pelecehan seksual secara verbal maupun non-verbal yang dilakukan oleh para penyelia atau satpam perusahaan sering dialami buruh perempuan. Pengurus serikat pekerja yang sebagian besar laki-laki malah meremehkan masalah itu. Buruh perempuan sendiri sulit menyelesaikan kasus tersebut. Pelecehan seksual terhadap buruh perempuan yang terjadi berulang kali dianggap oleh aparatus perusahaan sebagai persoalan tidak serius. Kemungkinan besar mereka kurang atau tidak memahami bahwa pelecehan seksual adalah sebuah bentuk penghinaan. Karena itu, porsi dan eksistensi perempuan di dalam serikat pekerja perlu diperhatikan secara khusus. Selain itu, perspektif dan sensitif gender penting untuk disosialisasikan di kalangan buruh dan aparatus perusahaan supaya menyusun dan menerapkan peraturan-peraturan yang dapat menghukum pelaku pelecehan seksual.
Lemahnya pengaruh serikat pekerja dalam relasi industrial juga mengondisikan bentuk diskriminasi lainnya. Misalnya, sebagian besar fasilitas untuk buruh perempuan yang berada di bawah standar dan “tidak ramah”. Kondisi kamar mandi dan toilet buruh (perempuan) jauh lebih buruk dan kotor dibanding fasilitas serupa untuk aparatus perusahaan. Air kamar mandi dan toilet buruh nyaris tidak bisa dipakai untuk membasuh wajah atau membersihkan tubuh karena berbau busuk dan kotor. Fasilitas tersebut akan “dibenahi” jika wakil perusahaan pemberi kontrak kerja mendatangi perusahaan penerima kontrak kerja. Selain mengambil produk, wakil perusahaan tersebut juga akan memeriksa apakah semua fasilitas umum untuk buruh telah memenuhi standar baku. Karena tidak ingin kehilangan kontrak kerja, perusahaan penerima kontrak kerja tentu akan membenahi atau membersihkan fasilitas umum itu. Namun demikian, buruh perempuan tetap tidak dapat memanfaatkannya. Setiap hari mereka harus membawa minimal satu liter air botol untuk dipergunakan membersihkan tubuh masing-masing. Hal “sederhana” semacam itu agaknya selalu luput dari perhatian serikat pekerja ataupun PUK.
Sebagaimana telah disinggung, serikat pekerja atau PUK perusahaan yang didominasi kaum lelaki kerap mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan kepentingan dan memerhatikan posisi buruh perempuan. Umpamanya rapat-rapat dan pertemuan PUK atau serikat pekerja yang sering diselenggarakan pada malam hari. Ha tersebut tentu menyulitkan sebagian anggotanya, terutama buruh perempuan yang telah berkeluarga. Otomatis mereka akan kehilangan akses, kontrol, dan pengaruh. Representasi buruh perempuan dalam organisasi-organisasi tersebut menjadi rendah dan kebutuhan perempuan yang perlu diperjuangkan pun sering dilupakan. Belum lagi peran ganda dan nilai-nilai sosial yang “menabukan” perempuan keluar malam hari. Itu merupakan kendala bagi buruh perempuan untuk terlibat lebih jauh dalam kegiatan organisasi serikat pekerja. Bahkan tidak jarang peran ganda dianggap memicu keretakan dalam rumah tangga saat perempuan harus meninggalkan kerja domestik untuk mengikuti pertemuan organisasi pada malam hari. Hal itu dialami buruh perempuan yang terlibat aktif dalam PUK atau serikat pekerja yang diteliti tim WRI dalam buku ini.
Ketidakberdayaan PUK dan SP memang tidak hanya disebabkan oleh faktor internal, tetapi juga faktor “luar”. Manajemen perusahaan melemahkan organisasi pekerja secara sistematis dengan tidak memberi perlindungan atau jaminan kepada buruh yang terlibat aktif di dalam organisasi-organisasi itu. Pihak perusahaan juga kerap menjatuhkan sanksi, mengharuskan kerja lembur, memengaruhi bahkan melarang buruh lain untuk terlibat lebih jauh dalam organisasi pekerja. Kecemburuan di antara sesama buruh pun terbangun, sehingga buruh yang aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi pekerja akan selalu dipergunjingkan oleh buruh yang enggan terlibat dalam organisasi itu. Dengan kata lain, pelbagai bentuk intimidasi dijalankan secara sistematik oleh perusahaan untuk melemahkan peran SP dan PUK. Perusahaan bisa melemahkan buruh secara organisasional, namun buruh perempuan mampu menyiasatinya dengan cara lain bersifat non-organisasional.

sumber : www.wri.or.id

Kamis, 14 April 2011

MELIHAT PRAKTEK NYATA SISTEM KERJA KONTRAK-OUTSOURCING DI KAWASAN INDUSTRI








Sekilas kerja kontrak-outsourcing dalam praktek
Tidak dipungkiri sistem kerja kontrak (PKWT-Perjanjian Kerja Waktu Tertentu) dan outsourcing (pemberian pekerjaan ke pihak lain/perusahaan-sub kontrak) sudah semakin marak, bahkan sudah mendominasi sistem kerja dalam industri/perusahaan saat ini, beberapa data menunjukkan angka 60-70% jumlah pekerja adalah pekerja kontrak. Banyak tulisan intelektual mendukung kebijakan sistem kerja kontrak-outsourcing atau sering disebut pasar tenaga kerja yang fleksibel, dengan berbagai dalih tanpa melihat akibat yang dialami oleh kaum buruh dan rakyat secara umum. Argumentasi para intelektual pendukung rezim penguasa dan pengusaha ini adalah untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya dengan menerapkan sistem kerja kontrak dan outsourcing, karena akan mengurangi pengangguran dengan pergantian waktu kerja.
Argumentasi para intelektual tersebut tenyata tidak terbukti, pengangguran tidak terserap oleh industri, bahkan juga tidak ada perkembangan pertumbuhan industri dalam dekade 2 tahun ini. Yang ada hanyalah relokasi lokal industri dalam negeri, yang umum dari daerah padat industri yang upahnya lebih tinggi ke daerah yang upahnya lebih rendah atau ke daerah pinggiran. Ini bisa kita lihat statistik berkurangnya jumlah industri di Jakarta, Tangerang dan Bandung serta berkembangnya industri di Sukabumi, Subang, Majalengka, dan kabupaten Semarang. Fakta lainnya kita disuguhkan pada tingkat pengangguran yang terus meningkat, artinya argumentasi intelektual akan terbukanya lapangan pekerjaan bagi pengangguran menjadi terbantahkan.
Dalam kehidupan keseharian di perusahaan-perusahaan atau kawasan industri, praktek hubungan industrial berkenaan dengan pekerja/buruh kontrak, bisa kita dapatkan kondisi sebagai berikut :
Pertama, perjanjian kerja dibuat sepihak atau tanpa proses kesepakatan, tidak sesuai dengan UUK (Undang Undang Ketenagakerjaan) Nomor 13/2003 pasal 52 huruf (a) dan (c).
Kedua, perjanjian kerja hanya dibuat tidak rangkap dan pekerja tidak diberi tahu serta isi perjanjian kerja tidak lengkap sesuai UUK 13 pasal 54 ayat 1, 2 dan 3.
Ketiga, pekerja kontrak yang diberi status harian kantor, pekerja harian lepas (PHL) atau ada beberapa sebutan lainnya diberi upah antara Rp. 10.000,- 15.000,- per hari dengan waktu kerja antara 8 jam sampai 12 jam.
Ketiga, pekerja kontrak mayoritas tidak diberikan fasilitas kesehatan, uang makan, uang lembur.
Keempat, pekerja kontrak/PKWT selama 2 tahun tidak boleh nikah dan hamil bagi pekerja perempuan
Kelima, diharuskannya membuat syarat-syarat baru bagi pekerja saat memperpnjang kontrak/PKWT.
Keenam, adanya perbedaan perjanjian antara pekerja laki-laki dan perempuan saat perpanjangan, pekerja laki-laki diberi pekerjaan-pekerjaan yang tidak begitu berat tanggung jawab produksinya serta diperpanjang tanpa syarat-syarat baru.
Ketujuh, adanya pemberian THR dan hak-hak lainnya yang diatur Undang-Undang kepada Pekerja kontrak/PKWT adalah tidak sesuai atau jauh di bawah standar aturan.
Di lain hal, adanya penerapan sistem kontrak telah membuat suasana kerja tidak tenang, ini karena adanya rasa tidak nyaman bagi pekerjaan dan adanya perbedaan-perbedaan antara pekerja tetap dan kontrak sehingga membuat resah, kondisi ini tentu disadari sepenuhnya oleh perusahaan akan berimbas pada hasil kerja atau produktivitas perusahaan baik kualitas dan kuantitas.
Nah, sebenarnya secara praktek sistem kerja kontrak-outsourcing bukanlah jawaban atas krisis ekonomi yang terus melanda negeri ini, karena jawaban tersebut terbukti tidak bisa mengentaskan pelaku ekonomi dan rakyat terbebas dari krisis. Sistem kontrak-outsourcing hanya membesarkan pemodal besar dan membenamkan pemodal kecil serta kaum buruh yang memiliki daya beli rendah akibat sistem ini.

Hukum dan prakteknya
Secara prinsip di dalam Undang Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 (UUK 13/2003) telah mengatur pekerjaan dan waktu serta kegiatan yang membolehkan sistem kerja kontrak [dalam bahasa UUK 13/2003 adalah Perjanjian kerja waktu tertentu/PKWT], yakni dalam pasal 56, 57, 58, 59 dan 60, di antaranya sebagai berikut :
Pasal 58 ayat 1: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/Kontrak) Tidak boleh adanya masa percobaan;
Pasal 59 ayat 1: Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT/Kontrak) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu yaitu: (a) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya, (b) Pekerjaan yang diperkirakan selesai dalam waktu tidak lama,paling lama 3 tahun, (c) Pekerjaan yang bersifat musiman, (d) Pekerjaan yang mengerjakan produk baru, kegiatan baru, percobaan atau penjajakan;
Pasal 59 ayat 2: Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap;
Pasal 59 ayat 6: Perjanjian waktu tertentu (PKWT/kontrak) yang tidak memenuhi ketentuan pasal 59 ayat (1), (2), (4), (5) dan (6) maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (tetap).
Ditinjau dari dasar hukum ini, praktek sistem kerja kontrak-outsourcing telah melanggar dan sudah seharusnya diberikan sanksi hukuman yang tegas kepada pengusaha atau setidaknya adalah mengembalikan sistem kerja kepada pekerja kontrak menjadi pekerja tetap.

Melihat celah perlawanan yang sederhana
Secara sadar dan penuh harapan, pekerja kontrak bila ditanya apa yang diinginkan dan diharap dari hubungan kerja ini akan menjawab “ Perubahan status kerja yang asalnya pekerja/buruh kontrak, menjadi pekerja/buruh tetap. Untuk semua jenis pekerjaan dan masa kerja sesuai dengan tanggal masuk kerja “.
Lalu bagaimana cara perjuangannya?
Kendala paling besar adalah ketakutan akan dipecat secara sepihak dan tanpa pesangon bagi kaum buruh yang status kerjanya kontrak. Namun dari beberapa diskusi ternyata ada satu celah yang bisa diperjuangkan secara maksimal dan yang belum pernah dicoba oleh kaum buruh kita untuk mengajukan kepada perusahaan dengan kajian hukum dan prakteknya serta dinegosiasikan. Karena secara praktek sistem kerja kontrak-outsourcing sangat bertentangan dengan hukum yang memberikan legitimasi, yakni UUK 13/2003. Tentu tidak mudah, syarat yang harus dipenuhi yakni mayoritas buruh kontrak (paling tidak 75%) ikut mendukung dalam pengajuan tersebut.
Pilihan untuk 75% adalah agar pengusaha berpikir ulang untuk memecat sebanyak orang yang ikut karena pengusaha harus mendapatkan pekerja baru dengan kualitas yang sama. Cara mendukung sangat mudah yakni dengan membuat pengajuan kepada perusahaan dengan argumentasi hukum dan praktek seperti di atas serta diedarkan kepada buruh kontrak untuk ditandatangani serta dibuat grup diskusi tentang hal tersebut. Surat ini bisa dilayangkan kepada semua instansi yang berkaitan dengan ketenagakerjaan.
Bila ini bisa dilakukan dengan serentak oleh kaum buruh kontrak di perusahaan atau kawasan industri, maka tidak mustahil sistem ini bisa berubah. Bila negosiasi tidak terjadi, maka kekuatan yang besar tersebut bisa melakukan mogok. Pekerjaan di tingkat wilayah atau perusahaan ini juga harus didukung oleh serikat pekerja/serikat buruh tingkat nasional untuk merubah sistem kerja yang merugikan rakyat.
Usaha ini sedang dilakukan oleh kawan-kawan kontrak dengan membangun organisasi yakni PBKM-I (Perjuangan Buruh Kontrak Menggugat-Indonesia) dengan terus melakukan diskusi dan penggalangan tanda tangan dukungan di dua pabrik garmen untuk merubah sistem kerja kontrak menjadi tetap.


* Penulis adalah anggota PBKMI (Perjuangan Buruh Kontrak Menggugat Indonesia) di wilayah industri Majalaya, Bandung. Sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Bandung.

Selasa, 12 April 2011

ARTI DAN MAKNA LAMBANG SPTSK SPSI



Arti dan Makna Gambar :

  1. Lingkaran Roda bergerigi warna merah sebanyak 20 gigi :
Melambangkan tanggal Deklarasi Persatuan Buruh Indonesia.

  1. Bunga Kapas 7 kuntum warna putih dan hijau kiri – kanan :
Melambangkan tanggal berdirinya Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.

  1. Lingkaran Hitam ditengah :
Melambangkan Kesatuan dan Persatuan yang Kekal dan abadi kaum Pekerja Tekstil.

  1. Segi Lima :
Melambangkan kelima sila dari Pancasila sebagai azas bagi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh Indonesia.

  1. Pita Hitam bertuliskan SP TSK – SPSI :
Melambangkan alat Pemersatu kaum Pekerja Tekstil, Sandang dan Kulit dalam memperjuangkan hak, kepentingan dan kewajiban.

  1. Batik Gadjah Mada :
Melambangkan ketinggian nilai seni dan ciri khas busana Indonesia dengan motif Gajah Mada yang mengandung makna dalam menumbuhkan semangat patriotis guna mempersatukan Nusantara dengan sumpahnya yang terkenal PALAPA.

  1. Benang pada Glosir/Gelok, dan Kulit yang latar belakangi Batik dalam Segi Lima :
Benang diartikan sebagai bahan baku utama yang harus dirajut/ditenun untuk menjadi bahan tekstil yang siap dipakai atau dikerjakan lebih lanjut. Kulit mempunyai makna sebagai bahan baku sandang selain tekstil yang selalu dibutuhkan dan dipakai manusia setiap waktu.



Arti dan makna Warna :

1.      Biru                             :
Melambangkan kelapangan dan keleluasaan pandangan kaum pekerja tekstil, sandang dan kulit dalam setiap masalah yang dihadapi.


  1. Kuning Terang          :
Melambangkan kejernihan berfikir kaum pekerja tekstil, sandang dan kulit menghadapi masa depan.


  1. Putih                          :
Melambangkan kesucian dan kemurnian hati kaum pekerja tekstil, sandang dan kulit dalam peran sertanya turut meningkatkan harkat, martabat dan budaya manusia.


  1. Merah                        :
Melambangkan semangat dan keberanian yang tinggi dalam bertindak untuk menegakkan kebenaran sesuai dengan sifat Bangsa Indonesia yang pantang menyerah.


  1. Hitam                         :
Melambangkan kesatuan dan persatuan kaum pekerja tekstil, sandang dan kulit sesuai dengan Deklarasi Persatuan Buruh Indonesia 20 Februari 1973.


  1. Hijau                         :        Melambangkan keimanan dan kesabaran kaum pekerja tekstil, sandang dan  kulit dalam menghadapi setiap cobaan dan tantangan

MARS SPSI